Pemerintah melalui Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menerbitkan satu peraturan menteri Nomor 16 tahun 2019 tentang Musyawarah Desa. Peraturan Menteri Desa PDTT dimaksudkan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan musyawarah desa.
Meskipun teknis bermusyawarah yang baik telah disediakan negara, masih ditemukan salah kaprah dalam praktik bermusyawarah yang berujung masalah.
Selaku penggiat pemberdayaan desa, penulis kerapkali menemukan kesalahan lazim implementasi bermusyawarah di desa. Uraian Musyawarah yang mengabaikan tata kelola bermusyawarah yang baik. namun diterima sebagai kondisi normal, sebagai berikut:
Musyawarah tanpa arah
Beberapa indikasi masalah musyawarah kehilangan arah, misalnya tidak ada tata tertib musyawarah yang menjadi pengarah dan pemandu bermusyawarah sesuai ketentuan regulasi. Keabsahan musyawarah, tata cara penyampaian pendapat dan pengambilan keputusan ialah bagian yang diatur dalam tata tertib musyawarah. Masalah berikutnya, tidak tersedia materi yang akan dibahas dan disepakati sesuai agenda Musyawarah. Misalnya Musyawarah Desa membahas Kerja Sama Desa, idealnya telah tersedia materi rancangan Kerja Sama Desa pada bidang, program dan jenis kegiatan pembangunan tertentu yang akan dibahas dalam musyawarah.
Musyawarah tanpa hasil (Mustahil)
Setiap musyawarah desa semestinya menghasilkan produk Permusyawaratan atau hasil mufakat yang berpihak pada kepentingan segenap warga desa.. Musyawarah desa dipersiapkan matang pada tahun anggaran sebelumnya dan tertuang dalam dokumen perencanaan tahunan desa, yaitu Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa).
Output Musyawarah berpadanan dengan agenda Musyawarah dan berdasar pada substansi perencanaan kegiatan Musyawarah dalam dokumen RKP Desa.
Istilah Mustahil (Musyawarah tanpa hasil) merupakan ekspresi kritik warga kepada pemerintah desa karena tidak maksimalnya realisasi pembangunan hasil musyawarah perencanaan pembangunan desa tahun sebelumnya. 'Mustahil' dihubungkan juga dengan janji-janji pembangunan sang legislator (anggota DPRD daerah pemilihan setempat) dalam forum musyawarah karena perjanjian yang tak mewujud menjadi kegiatan pembangunan di desa.
Musyawarah tanpa penyelenggara.
Penyelenggara musyawarah desa ialah unsur pimpinan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun dalam praktiknya, musyawarah tetap 'berjalan lancar' meski pimpinan musyawarah bukan dari unsur pimpinan BPD. BPD diposisikan sebagai pendamping Kepala Desa di meja pimpinan musyawarah. BPD hanya berpidato pada sesi sambutan, bukan sebagai pemimpin forum.. Bahkan masih ditemukan dalam undangan Musyawarah Desa, pihak yang mengundang ialah Kepala Desa, bukan BPD sebagaimana mestinya. Musyawarah tanpa penyelenggara dari pihak BPD dapat memicu kontroversi mengenai absah tidaknya musyawarah.
Musyawarah di luar Desa.
Musyawarah desa yang bertempat di luar wilayah desa (termasuk di luar negeri hehe..),.akan mempersempit ruang partisipasi warga desa. Khususnya warga miskin ekstrim, warga berkebutuhan khusus (difabel), kaum terpinggirkan (marginal) lainnya. Melalui Permendesa PDTT, pemerintah melarang Musyawarah dilaksanakan di luar desa.
Demikian beragam musyawarah bermasalah dikemukakan sebagai upaya mengembalikan marwah musyarawah yang bermartabat.
Kiprah salah bermusyawarah dapat berdampak parah bagi desa. Karena musyawarah merupakan bagian penting dari tahapan pembiayaan pembangunan desa.
Dana Desa dan sumber biaya pembangunan lainnya, terancam tidak cair ke rekening desa, jika Desa tanpa dokumen Perencanaan dan Keuangan desa, yang sebelumnya dibahas dalam musyawarah di desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H