Lihat ke Halaman Asli

Penjual Bubur Keliling

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1338418404723170610

Seorang perempuan penjual bubur yang setiap hari lewat di depan rumah sambil meneriakkan dagangannya sungguh menarik simpatiku untuk mengetahui lebih jauh tentang sosoknya. Aku terperangah ketika mendengar cerita bahwa sosok perempuan sederhana itu ternyata punya anak yang kuliah di salah satu universitas negri di Jawa Tengah. Hanya dengan modal bubur yang di gendong keliling kampung setiap harinya dia bisa menguliahkan anaknya? Subhanallah! Aku menemuinya sore kemarin ketika dia berhenti di depan rumah. Ada beberapa orang mengantri, merubung di sekitarnya untuk mendapatkan bubur hangat yang boleh dibeli dengan harga seribu rupiah. Sebagian besar pembelinya memang anak-anak. Tapi jangan salah. Orang tua, anak remaja, para lansia juga kadang begitu merindukan bubur yang pembuatannya membutuhkan tenaga maupun waktu yang banyak itu. Aku juga turut mengantri sambil membawa dua mangkok beling. Satu untuk diriku sendiri, satu lagi untuk suami. Suami biasanya pesan bubur sum-sum, bubur candil dan bubur ketan hitam yang dicampuri santan kental dan saus gula merah. Cukup membayar dua ribu saja untuk satu mangkok. Murah, kan?

1338418727849139041

Namanya yu Harni. Dia sudah menjual bubur selama kurang lebih 35 tahun. Berkeliling kampung setiap pagi dan sore. Kalau pagi dia menjual bubur nasi dan sayur tahu yang dicampur labu siam dan ditambah lagi dengan kerongkongan serta ceker ayam. Sedap juga, lho! Entah berapa kilometer jarak yang ditempuhnya setiap hari selama tiga puluh lima tahun itu sambil menggendong tenggok, tempat menyusun panci-panci berisi macam-macam bubur itu di punggungnya. "Dulu  saya jualan di Pualam. Terus pindah ke sini. Yah, demi anak-anak, Bu, saya jualan bubur kayak gini," ceritanya dengan logat bahasa Jawa yang kental. "Anaknya berapa, Yu?" tanyaku. "Tigo. Jaler sedoyo. Sing mbarep kalian nomer kalih kulo sekolahke ting STM, sakniki pun nyambut damel ting Astra. Lha, ingkang alit puniko kuliah. Pun setahun angsale mlebet kuliah. (Tiga. Laki-laki semua. Yang sulung dan nomor dua saya sekolahkan di STM, sekarang keduanya sudah kerja di Astra. Lha, yang kecil ini kuliah. Sudah setahun ini kuliahnya.)" "Kuliah?" Dia tersenyum tersipu, dan tak mampu menyembunyikan rasa bangganya. "Nggih. Duko ting pundi kuliahe, pokoke ting negri, ngoten sanjange. Terus mangkeh nek pun lulus dados guru. (Iya. Nggak tahu kuliahnya di mana, pokoknya negri. Terus nanti kalau sudah lulus jadi guru.)" Seperti yang diungkapkan yu Harni, dia memang hidup prihatin demi masa depan anak-anaknya. Alhamdulillah, anak-anaknya juga nurut, nggak ada yang nakal dan yang pasti juga turut prihatin. Nggak ada yang merokok, karena nggak ada uang buat beli rokok. Semua uang hanya untuk makan dan bayar uang sekolah. Jauhnya jarak yang ditempuh dan beratnya tenggok di punggung selama berkeliling sambil menjajakan bubur tidaklah ada artinya jika mengingat cerahnya masa depan anaknya yang yang sudah terbayang dipelupuk matanya. Panas terik, maupun hujan deras, tidaklah menggoyahkan langkah kakinya menyusuri jalan perkampungan. Jika panci-panci telah kosong, dia kembali melangkah agak ringan menuju sepetak rumah kontrakannya di sebuah perkampungan kecil di pinggiran Jakarta Pusat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline