Lihat ke Halaman Asli

Kok Kita Nggak Dapat Daging Kurban?

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Atik, seorang gadis belia berumur 8 tahunan melihat orang-orang lewat di depan rumahnya sambil menenteng tas kresek berisi daging kurban. Ia cepat masuk ke dalam rumah dan memnemui ibunya.


"Bu, kok kita nggak dapat daging?" tanyanya heran.


"Itu daging kan buat orang miskin, Sayang." sahut Sulastri, ibunya,sambil berusaha menghiburnya


"Tapi semua orang pada dapet, Bu! Kenapa kita enggak?"


Lastri nggak bisa ngomong apa-apa. Paling-paling ia akan segera keluar rumah untuk membeli daging ke pasar. Sesampai di rumah ia akan mengatakan pada anaknya bahwa dia baru saja dari masjid dan dapat daging kurban. Sejak tinggal di rumah kontrakan yang sekarang, sudah dua idul adha, keluarganya memang tidak pernah mendapat pembagian daging kurban. Dia dan suaminya memang tiap hari kerja dan jarang berada di rumah. Atik dan adiknya Dion dititipkan ke tetangga sebelah.


Bu Sarti, tetangga yang selalu dititipin anak itu mengatakan, "Saya sudah bilang, Bu, sama pak RT, kalau tetangga sebelah saya nggak pernah kebagian daging kurban. Katanya dibilang keluarga ibu, kan orang kaya dan mampu? Suami istri pada kerja."


Kalau dibilang kaya sih kayaknya enggak. Kontrakan seharga lima juta setahun bagi lingkungan kampung situ memang dianggap mewah. Dia dan suaminya bekerja keras agar bisa membayar kontrakan itu dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Suaminya hanya buruh, dan dia sendiri hanya staf sebuah perusahaan. Kalau ia dibilang kaya dan mampu, tentu ia sudah berkorban sapi atau kambing ke masjid. Yang menjadi masalah adalah anaknya Atik. Bagaimana orang perduli menjaga perasaan seorang anak yang merasa dibedakan dari lingkungan sekitarnya? Hanya sepotong daging, apa sih mewahnya? Tapi bagi si anak?


Tidak lama setelah itu, Sulastri dan suaminya berhasil membeli rumah sederhana yang berada masih satu wilayah dengan rumah kontrakannya. Hanya lain RT. Dia meminjam uang bosnya untuk bisa membeli rumah itu dan pembayarannya di potong gaji tiap bulan. Di rumahnya yang baru, pengurus Rt-nya baik dan selalu memperhatikan warganya, baik itu keluarga mampu, apalagi warga nggak mampu. Baik itu warga menetap atau warga yang ngontrak. Baik itu warga lama atau warga baru. Semua diperhatikan. Dan Sampai saat ini si Atik anaknya nggak pernah lagi menrengek-rengek minta daging kurban. Semua warga di RT-nya yang sekarang mendapat daging kurban, nggak terkecuali.***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline