Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan yang besar di Asia dan dunia. Banyaknya kantor, perusahaan dan peluang kerja di kota ini mengundang datangnya para penduduk dari seluruh bagian negara ini untuk turut mengadu nasib dan mencari rezeki. Namun demikian, ada beberapa dampak negatif arus urbanisasi di Jakarta yang hingga saat ini masih membutuhkan solusi yang konkret. Salah satu dampak negatif itu adalah tingginya tingkat kemacetan di jalanan ibukota. Konon, Jakarta pernah dinobatkan sebagai salah satu kota dengan kemacetan terparah di dunia (sumber: Time). Tulisan ini adalah sebuah pengalaman pribadi saya mengenai kemacetan di Jakarta, serta opini tentang sebuah konsep yang belakangan ini berkembang yang katanya bisa turut mengurangi tingkat kemacetan di kota ini. Konsep itu adalah ridesharing. Monggo dibaca.
Beberapa tahun lalu saya diterima kerja di sebuah perusahaan yang berkantor di area Simatupang, Jakarta Selatan. Meskipun sudah berkantor di Simatupang, karena beberapa pertimbangan, saya tetap memilih untuk tinggal di kost lama saya di area Kuningan, di dekat tempat kerja saya sebelumnya. Konsekuensinya, saya mesti menempuh perjalanan dari Kuningan ke Simatupang untuk pergi dan pulang kerja. Karena transportasi umum yang ada saat itu menurut saya masih kurang memadai, saya putuskan untuk pergi menggunakan sepeda motor saya. Sebagai seorang pendatang di Jakarta, pada awalnya saya merasa sedikit khawatir tentang berkendara di ibukota negara ini.
Tentang tingkat kemacetannya yang berlipat lebih parah daripada kota asal saya yaitu Jogja, tentang perilaku para pengguna jalannya yang saya yakin lebih agresif dan ahli bermanuver di jalanan, lalu kalau hujan dan banjir nanti bagaimana, serta beberapa kekhawatiran yang lain. Rute perjalanan saya ke kantor waktu itu adalah Kuningan (Rasuna Said) - Pancoran - Pasar Minggu - Simatupang. Saat berangkat, jalanan biasanya tidak terlalu ramai karena melawan arus mayoritas pengendara lainnya, tapi kalau pulang, astaga macetnya.
Sesuatu banget deh. Disitu saya merasa lelah. Tidak terbayang andaikata saya bertempat tinggal di area Bekasi atau Tangerang, misalnya. Tentu akan lebih lelah lagi jiwa dan raga ini. Pernah suatu waktu saya sedang di jalan saat pulang kantor menjelang maghrib, dan macet di sekitar Kalibata/Pasar Minggu. Musim hujan, tapi saat itu tidak atau belum turun hujan. Saya sedang duduk manis di motor sambil menunggu giliran jalan, eh ternyata tiba-tiba hujan turun dan langsung deras. Sungguh sebuah nikmat yang tiada tara. Sedang kegerahan dan berkeringat, tiba-tiba jadi adem...dan basah kuyup. Mungkin pada dasarnya badan saya sedang kurang fit karena setelah tiba di kost, saya merasa tidak enak badan. Sayang sekali. Namun demikian, akhirnya pelan-pelan saya terbiasa. Perjalanan dengan sepeda motor dari Kuningan ke Simatupang dan sebaliknya akhirnya saya lakukan selama tiga tahun.
Ada satu cerita yang cukup membuat saya geleng kepala. Dulu sewaktu berkantor di area Kuningan, saya sempat takjub dengan kebiasaan sebagian teman-teman sekantor saya yang tinggal di area-area yang jauh dari Kuningan. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan mereka sudah selesai bekerja, tapi mereka memilih tetap tinggal di kantor beberapa jam lagi. Entah mengobrol atau bermain gadget atau laptop. Beberapa malah memilih pergi nonton di bioskop atau nongkrong di kafe.
Malah jadi boros, menurut saya. Ketika saya tanya kenapa tidak segera pulang, jawaban mereka sederhana: menunggu macet (reda). Luar biasa, kata batin saya. Tapi setelah itu batin saya lanjut berkomentar lagi: "Nunggu tuh pacar, istri atau suami, lebih bagus lagi kalau yang ditunggu itu transferan gaji.....gimana sihh." Tapi saya benar-benar kagum dengan mereka. Dari rumah berangkat kerja pagi-pagi sekali, lalu pulang kerja di malam hari. Banyak dari mereka menggunakan kendaraan pribadi dan bukan kendaraan umum.
Disaat transportasi umum dinilai masih belum memadai, saya kira sangat wajar bila banyak pekerja di Jakarta masih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dari dan ke tempat kerja.
Dilematis, memang. Kalau pakai kendaraan pribadi, meskipun bisa lebih nyaman dan aman, tapi macet dan boros uang bahan bakar. Tapi kalau pakai kendaraan umum, mesti siap berdesak-desakan, menjaga barang bawaan dengan baik serta sabar menunggu kendaraan yang hendak dinaiki. Perjuangannya pun tidak kalah seru. Saya pernah beberapa kali naik bus Transjakarta untuk pergi atau pulang kantor di Simatupang. Menurut saya, jumlah armadanya di jam-jam tertentu memang belum sebanding dengan jumlah penumpangnya sehingga kesannya penuh sesak dan tidak nyaman. Itu beberapa tahun yang lalu. Saya kira sekarang sudah jauh lebih baik.
Terkait dengan penggunaan kendaraan pribadi untuk pergi dan pulang kerja, ternyata inilah penyumbang terbesar dari kemacetan di Jakarta (sumber: Republika). Kita ambil contoh mobil pribadi. Satu mobil hanya terisi 1-2 orang yaitu sang pemilik dan pasangannya. Slot kursi lainnya nganggur. Andaikan mobil ini adalah satu alat atau fasilitas produksi di sebuah pabrik, berarti mobil ini beroperasi di bawah kapasitas maksimum, produktivitasnya masih bisa ditingkatkan lagi sehingga biaya yang sudah dikeluarkan bisa lebih efektif.
Sudah slot nganggur, menambah kemacetan pula. Apalagi kalau ukuran mobilnya segede gaban. Saya yang kemana-mana hanya menggunakan sepeda motor imut ala kadarnya ini cuma bisa ngelus dada. Di lain pihak, sepeda motor belakangan ini sudah dijadikan alat transportasi alternatif yang cukup logis bagi banyak pekerja ibukota. Namun sayangnya, jumlahnya di jalanan sudah banyak sekali sehingga akhirnya juga turut meningkatkan kemacetan (sumber: BBC Indonesia).