Tanya anak yang cerdas dan pintar. Ia adalah kebanggaan ibunya, seorang orang tua tunggal yang ditinggal mati suaminya yang tewas dalam tabrak lari yang melibatkan seorang petinggi polisi mabuk yang tidak pernah diadili.
Tanya sering mengikuti lomba akademik di luar negeri, mewakili sekolahnya hingga namanya santer terdengar di antara para tetangga yang anaknya satu sekolah dengan Tanya.
Ibunya mendidik Tanya dengan keras, bayangan ketidakadilan yang menimpa suaminya selalu membekas dibatinnya dan membuat ibunya menyimpan benci dan luka yang tidak berkesudahan dan melampiaskannya pada Tanya kecil yang cerdas dan aktif bertanya. Tak jarang Tanya mendapat perlakuan kasar dari ibunya yang suka merokok dan frustasi berat dengan hidupnya.
Tanya kecil tidak tahu apa itu frustasi. Yang ia tahu adalah banyak hal yang tidak diketahuinya dan asing baginya seperti mengenai gulungan kertas yang suka menyangkut di bibir ibunya yang bisa mengeluarkan asap, mengenai pekerjaan rumahnya, siapa laki-laki yang suka ke rumah bersama ibunya, hingga pertanyaan-pertanyaan receh seperti apakah peri gigi benar-benar ada, atau mengapa kucing selalu menggali lubang sebelum membuang kotorannya.
"Jangan banyak tanya!" kata ibunya hari itu dengan nada marah ketika Tanya kembali bertanya mengenai ayahnya. Tanya diam, wajah ibunya terlihat kesal dan memerah. Padahal Tanya tidak meminta banyak hal, batinnya rancu apakah kata 'tanya' yang diucapkan ibunya merupakan namanya atau sebuah kata kerja yang berarti menyuruh Tanya untuk berdiam dan tidak banyak bicara.
"Diam dan jangan banyak bicara," begitu respon otaknya terhadap batinnya yang bertanya kala itu.
Sejak hari itu, Tanya enggan untuk bertanya, ia lebih memilih mencari sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. Perpustakaan menjadi rumah keduanya, di mana ia berhasil menemukan berbagai jenis jawaban yang menggunung di kepalanya seperti pertanyaan mengenai bentuk bumi yang bulat atau datar, siapa pemenang Grammy, siapa Susi Susanti, hingga harga baju yang disukainya.
Walau mungkin ia tidak menemukan beberapa pertanyaan yang dianggapnya sebagai persepsi seperti lebih enak mana makan bubur diaduk atau tidak diaduk, pantaskah merusak ritual budaya atas nama agama, hingga asumsi berhala kepada mereka yang menyucikan benda mati. Pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya hanya akan melahirkan jawaban berupa asumsi yang tidak memiliki kepastian layaknya 1 tambah 1 sama dengan 2.
Ketika tumbuh besar, ia mulai paham mengapa ibunya memarahinya ketika ia terlalu sering bertanya. Ketika ia SMP seorang temannya yang satu kelompok dengannya mendapat bullying ketika ia menanyakan beberapa hal ketika kelompok lainnya sedang presentasi mengenai sebuah materi yang mereka sajikan.
"Sok pintar..."
"Cari muka... "