Lihat ke Halaman Asli

Kesalahan sebagai Pembelajaran

Diperbarui: 15 Oktober 2018   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.zonalima.com

Dua tahun terakhir, saya bekerja di sebuah perusahaan yang lumayan besar, walau mungkin tidak terkenal amat, tapi setidaknya di sinilah saya belajar bahwa sikut-sikutan di perusahaan itu bukan sekedar berebut jabatan, atau mungkin menjilati pantat atasan. 

Toh ketika awal saya masuk, saya bukanlah orang yang percaya bahwa sikutan di kantor itu akan berdampak kepada saya yang notabene tidak tertarik dengan jabatan. Bukannya munafik, tapi dalam pandangan saya yang seada nya ini, tukang bakso atau gorengan punya value yang lebih tinggi dibanding manajer yang notabene masih kuli orang.

Di sini, kata "salah" menjadi barang haram yang tidak boleh di sebut, bahkan kalau bisa di kubur sampai inti bumi yang terdalam. Kesalahan menjadi seperti aib atau anak haram dimana tidak ada yang mau mengakui siapa ibu yang melahirkannya atau ayah yang telah memuntahkan sper**nya.  

Karena takut salah, banyak yang ogah ambil keputusan. Bahkan mereka yang pakai embel-embel "kepala" di depan jabatannya lebih suka mengembalikan pertanyaan dengan pertanyaan. Tidak ada penyelesaian yang benar-benar clear atau paling mentok melempar ke divisi lain yang bersangkutan atau mungkin di lempar ke atasannya lagi yang notabene "kepalanya kepala" yang harus menjadi decision maker atau pembuat keputusan. 

Sejujurnya, saking seringnya melihat lempar-lemparan masalah karena ogah di salahkan, saya jadi ingat sebuah artikel yang pernah saya baca, bahwa secara psikologis manusia sadar atau tidak, akan membangun tembok untuk melindungi dirinya sendiri, entah itu dengan berbohong, memutarbalikkan cerita, hingga paling muktahir adalah kata lupa (karena kepalanya benjol nabrak tiang listrik) yang sering kita dengar di pengadilan pengadilan tipikor.

Seni Pembelajaran 

Tak ada gading yang tidak retak. Tidak ada juga manusia yang bekerja sempurna tanpa kesalahan. Setidaknya begitulah pandangan saya. Bagi saya kesalahan adalah sebuah ruang pembelajaran bagi kita, manusia yang akan terus belajar seumur hidupnya. Tanpa kesalahan, tidak akan ada perubahan, tidak ada koreksi untuk diri sendiri, hingga kemajuan. Mirip seperti pertanyaan, kesalahanlah yang akan menggiring kita untuk terus maju ke depan.

Lalu bagaimana menuntut bekerja tanpa sebuah kesalahan??

Atau bagaimana justru sering disalahkan??

Nah, ini yang menarik menurut saya. Lingkungan dan budaya ogah di salahkan menjadikan kesalahan tidak kelihatan, bahkan dianggap benar. Kalimat "dari dulu sudah begitu" menjadi senjata lain, sehingga saya yang awalnya agak vokal lebih memilih menjadi mahluk pelangak-pelongok dan mulai menggunakan asas "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." 

Untuk kesalahan kesalahan baru yang tidak tahu siapa ibu dan ayah kanndungnya, jari jemari tidak akan pernah lelah untuk menunjuk siapa yang pantas menjadi orantua si salah. Toh budaya sering disalahkan sudah membuat beberapa orang mampu beradaptasi dengan baik untuk membangun tembok dan melindungi dirinya sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline