Putusan pengadilan Negeri Jakarta Utara selasa 9/05/2017, terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mendapat berbagai respon. Ada massa yang mendukung putusan tersebut, namun ada juga massa yang menganggap putusan tersebut tidak adil dan tak lebih dari politisasi, apalagi tak lama setelah putusan tersebut, ketiga hakim tersebut mendapat kenaikan pangkat, yang seolah semakin menimbulkkan kecurigaan.
Namun, terlepas dari benar atau tidaknya putusan tersebut, proses hukum masih akan terus berjalan, toh Ahok dan kuasa hukumnya telah mengajukan permohonan banding, yang pasti akan membuat kasus ini semakin menarik perhatian, bukan hanya di Indonesia, namun juga di dunia Internasional. Putusan pengadilan tersebut di anggap mengancam kebebasan berpendapat serta pluralisme yang harusnya sedang di jaga di Indonesia. Bahkan Badan HAM PBB dalam cuitannya meminta Indonesia untuk mengkaji ulang UU penodaan agama.
Statement Ahok dalam ceramahnya di Kepulauan Seribu yang menjebloskannya ke penjara, memang bisa di bilang statement yang salah. Toh kalau di tilik lagi, kunjungannnya ke sana adalah untuk meninjau pemberdayaan budi daya ikan kerapu. Untuk hal berikut, saya setuju dengan hakim yang mengatakan bahwa statement Ahok yang menyebut salah satu ayat Al Quran hanya karena asumsinya yang melihat para ibu yang terlihat tidak antusisas sehingga mengingatkannya pada kejadian yang pernah di alaminya di Belitung dulu ketika hendak mencalonkan diri menjadi Bupati tidak bisa di benarkan. Patut di garis bawahi bahwa itu hanya asumsi Ahok.
Namun di sisi lain, saya sadar bahwa ucapan yang di keluarkan Ahok tak lebih dari caranya sebagai seorang yang ingin melawan sentimen yang mengatasnamakan agama hingga ras (SARA) yang belakangan mulai tumbuh subur di Indonesia. Sebagai double minority, ia pastinya telah berkali kali mendapatkan serangan serupa, bahkan hingga mendapatkan ancaman pembunuhan segala.
SARA dan Kebhinekaan Indonesia
Masih ingat statement yang di keluarkan pendiri Soksi Suhardiman pada tahun 2014 dimana Golkar kala itu tengah menggodok wacana pencapresan Ketum Golkar Abdurizal Bakrie.
"Namun ada sesuatu hal yang perlu disampaikan, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Jawa.Siapapun yang akan menjadi presiden pasti orang Jawa. Ini yang perlu dipegang oleh saudara Ical, tapi tampaknya saudara Ical masih ngotot untuk menjadi presiden," kata Suhardiman. Source : http://news.detik.com/berita/2571663/pendiri-soksi-dan-ketum-mkgr-bahas-opsi-golkar-usung-cawapres?993305=
"Jangan mimpi Ical akan menjadi orang pertama di Indonesia, itu berdasarkan sosiologis dan sejarah. Karena sebagian besar orang Indonesia itu Jawa, jadi siapapun yang jadi presiden itu orang Jawa.” Source : http://www.pikiran-rakyat.com/politik/2014/05/02/280002/suhardiman-presiden-indonesia-itu-orang-jawa
Sadar atau tidak, statement Suhardiman seolah menyiratkan bahwa Presiden Indonesia pasti orang Jawa. Padahal, kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang sampai merauke yang bahkan terbagi atas 3 bagian waktu, bukan hanya Jawa saja .
Konstelasi politik dalam berbagai ajang pemilihan yang ada di Indonesia, seolah membuka celah dan menjadi rentan di susupi isu isu SARA yang memang paling laku untuk terus di “goreng” di masyarakat, terutama masyarakat menengah kebawah yang tingkat pendidikannya masih rendah
Muntari, Ahok dan SARA