Lihat ke Halaman Asli

Review Film: Stip dan Pensil

Diperbarui: 26 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lihatlah dunia ini lebih luas, ingatlah bahwa hidup bukan hanya sekedar mencari uang, ketenaran, atau mungkin penghargaan. Menjadi orang yang bisa berguna bagi sesama adalah hal lain yang sukacitanya pasti berbeda di banding mendapat penghargaan atau sekedar uang .

Ya, setidaknya itulah pesan yang bisa saya dapat setelah selesai menonton film ini beberapa jam lalu. Film ini stip dan pensil ini di kemas dalam kemasan yang cukup kocak, walau mungkin bagi saya humor yang terdapat di dalamnya terkesan agak garing, tapi setidaknya pesan yang di sampaikan mengena dan cukup untuk sedikit menggambarkan sisi lain kehidupan di Jakarta yang menjadi kota dengan mall paling banyak di dunia.

Keempat remaja yang menjadi tokoh utama dalam film ini yaitu Agi, Toni, Saras dan Bubu adalah orang orang kaya yang di anggap sombong dan ekslusif, karena orang tua mereka adalah pemilik sekolah. Padahal mereka sendiri menganggap orang orang di sekolah lah yang justru bersikap aneh dan memusuhi mereka, sehingga mereka seolah terisolasi dari pergaulan di sekolah dan menguatkan satu sama lain.

maxresdefault-58fff91c9fafbdfa3e9fd0d6.jpg

Pertemuan mereka dengan Ucok, seorang anak jalanan yang tinggal di salah satu daerah kumuh yang berdiri di atas tanah negara menjadi awal perjalanan cerita film ini di mana akhirnya mereka membuka sekolah darurat di daerah tempat tinggal ucok yang awalnya hanya untuk menang bacot atas seorang murid yang journalist wanna be di sekolah mereka.

“Mereka harusnya layak untuk hidup lebih dari orang tua mereka.. “

“Kita ga butuh sekolah, kita butuhnya uang..”

“Kata kak Agi, kita harus jujur..”

“Ini bukan soal kompetisi essay itu lagi..”

“Kita harus selesaikan yang kita mulai..”

Beberapa kalimat di atas adalah kutipan kutipan yang saya ingat dari film tersebut. Terutama kalimat kedua yang menggambarkan bagaimana uang sejatinya sudah menjadi berhala bagi manusia.  Kehidupan anak anak jalanan -di gambarkan oleh Ucok dan teman temannya yang bahkan buta huruf-yang keras dan hanya tahu bagaimana caranya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi realita yang tak terhidarkan, mungkin bukan cuma di Jakarta saja, tapi di berbagai belahan dunia.

Bagi beberapa orang yang mungkin berada di garis kemiskinan, sekolah mungkin bukanlah hal yang penting. Tak sedikit orang tua yang mungkin beranggapan bahwa sekolah hanya membuang buang uang dan waktu, sehingga lebih baik waktunya di pakai untuk mencari uang baik itu dengan mengamen, berjualan, atau mungkin meminta minta agar bisa menghasilkan lebih banyak uang. Padahal, seperti yang saya kutip di atas, bahwa anak anak mereka mempunyai HAKUNTUK HIDUP LEBIH LAYAK di banding mereka. Dan pendidikan adalah salah satu jalan keluar bagi mereka untuk hidup lebih layak. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup layak, jika membaca dan menulis saja tidak bisa ??

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline