Dunia menjuluki Bali sebagai pulau Dewata, pulau dengan ribuan Pura yang bertebaran dimana-mana sampai diplosok-plosok desa, dipuncak bukit, gunung, tengah danau, pantai dan ditebing curam. Rasanya tidak ada tempat yang tidak ada kahyangan suci ditanah pulau kecil disebelah timur pulau jawa ini.
Apakah keadaan ini sesuatu yang kebetulan?
Kalau kita melihat kebelakang, dengan merenungi kedatangan para Maha Rsi, beliau-beliau yang batinnya sudah suci, yang memiliki Atman yg tidak terikat lagi oleh kemelekatan duniawi, dan sudah mencapai kesadaran Brahman, mencapai “Morksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”.
Beliau-beliau ini yang menancapkan tonggak sejarah, dengan kesucian batin membangun ribuan stana Ida Betara-Betari diseluruh pulau kecil yang tidak memiliki hasil tambang ini. Kemudian Sinar Suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa ini memberi jiwa kepada Buana Agung ini dan menjadikan selaras dengan spirit Buana Alit.
Ini bukan suatu kebetulan, tapi hasil karya dengan kesadaran penuh, kesadaran Parama Atman menyucikan tanah Bali dengan bangunan2 suci, sehingga menyucikan juga masyarakat Bali yang ada.
Kesucian batin ini menjadikan dasar terciptanya mahakarya seni yang adiluhung yang ada didalam budaya pulau tanpa sumber daya alam yang berarti ini. Kesucian batin ini pula yang menjadikan pulau kecil ini punya daya tarik yang sangat kuat, daya pesona tinggi serta kasih sayang yang menyejukkan. Inilah dikatakan “TAKSU” pulau Bali.
Gubernur dan para pejabat di Bali yang memberi izin reklamasi teluk benoa, telah melupakan hakekat “TAKSU” ini. Begitu pula masyarakat pendukungnya dan PHDI yang bungkam, betul-betul telah menutup mata terhadap kebenaran “TAKSU” yang menghidupkan pulau mungil ini. Jangan tanya Presiden RI yang menanda tangani keppres yang berkaitan dengan reklamasi teluk benoa, memang betul-betul tidak memahami, tidak merasakan, sehingga tidak memiliki keyakinan seperti masyarakat Bali. Beliau itu tidak salah sama sekali, dan bukan keppres itu trigger perusakan itu.
Coba renungkan apa yang dikatakan Shri Krisna kepada Karna, bahwa penyebab terjadinya Berata Yudha adalah tiga manusia utama, yaitu Yang Agung Bhisma, Guru Dhrona dan Raja Angga Karna. Karena ketiga ini telah memihak Korawa, bukan membuka kegelapan Duryodana. Ketiga manusia utama ini punya kesetiaan, integritas dan kasih sayang, tapi beliau-beliau itu menghadapi dilemma didalam batinnya saat memilih keberpihakan, dan memutuskan berpihak kepada ketidak adilan dan ketidak benaran. Beliau beliau itu membiarkan Drupadi dilecehkan, walaupun dengan hati sedih sekalipun. Beliau-beliau itu juga membiarkan seorang Duta perdamaian di perlakukan kasar oleh Duryodana.
Begitu pula dengan PHDI yang bungkam seribu bahasa. Bukanlah suatu tindakan yang bijaksana, yang membiarkan kerusakan alam akan terjadi dihadapan matanya. Ini dengan asumsi PHDI adalah isinya manusia utama seperti halnya ketiga kesatria di kerajaan Astina tersebut. Tapi, kalau PHDI isinya manusia biasa dengan penuh kegelapan, maka ini synergy yang cocok dengan sifat “TAMAS” pemberi dan pendorong izin reklamasi. Bali hanya bisa meratapi, kenapa masyarakat pengemban yang dipercayakan untuk menjaga ajeg Bali, yang diwariskan para leluluhur yang membangun dan menjadikan bali bertaksu, hanya sebatas manusia tidak memiliki kesucian batin sama sekali. Kenapa kualitas manusia dengan penuh kemunafikan yang menjaga ajegnya Bali?
Didalam ketidak pastian siapa mereka itu, didalam menghadapi kemunafikan yang merajalela, satu-satunya jalan adalah masyarakat yang masih punya nurani mempertahankan ajegnya pulau yang kian karam oleh keserakahan, untuk bersatu padu bertindak, bergerak, menunjukkan kepada dunia bahwa reklamasi tidak dibutuhkan dilakukan di pulau Bali. Jangan mematikan nurani, jangan ikut larut kedalam keegoisan yang mengejar kekayaan secara instant, tapi mengorbankan spiritualitas masyarakat dan bumi kecil ini.
Memang tawaran menggiurkan, dengan terbukanya lapangan kerja yang luas, apalagi target kunjungan wisata tahun 2029 yang dicanangkan Gubernur Bali sebesar 30 juta, dengan bumbu kata-kata “Kalau Begini Saja, Bali Membosankan”. Sepintas sangat peduli dengan kesejahteraan rakyat, sepintas sangat mulia apa yang diperjuangkan, sepintas seperti ya, bila tanpa gedung mewah, tanpa hotel diatas bintang lima, dan tanpa investor mengucurkan duit, Bali akan tidak dikenal, kerdil dan akhirnya bangkrut.
Tidak kawan!
Dasar bersinarnya “Zambrud Katulistiwa” ini adalah Budaya Bali yang adiluhung. Budaya ini dibangun oleh jiwa-jiwa suci dari leluhur orang Bali. Dan hasilnya adalah warisan yang bercahaya keseluruh dunia. Mereka yang datang ke Bali, selalu jatuh hati, dan banyak dari mereka yang menjadikan Bali sebagai rumah kedua.
Peninggalan Budaya tidak pernah menjadikan orang bosan untuk mengunjungi, karena mereka yang datang disamping menikmati keindahannya, juga ikut melarutkan diri didalam masa lalu yang membuat hatinya tenang, damai dengan sentuhan kasih sayang dari peninggalan tersebut. Kwalitas manusia yang datangpun berbeda dengan kwalitas manusia kebanyakan dari wisatawan yang ada saat ini. Bayangkan, saat ini Bali dijadikan tempat transit peredaran Narkoba dunia, penderita HIV yang naik terus, serta tindakan-tindakan para pengunjung yang berkwalitas rendah, seperti pelecehan tempat-tempat suci, yang semua itu tidak pernah kita dengar di tahun 70 an dan sebelumnya.
Kata-kata membuka lapangan kerjapun, hanya kata-kata normatif dari para pejabat yang tidak kreatif. Kalau membuka lapangan kerja, kenapa pengangguran dan rakyat miskin secara kuantitas makin banyak di Bali. Karena lapangan kerja dibuka bukan untuk masyarakat Bali semata, dan masyarakat Bali sering terdesak dan kalah dalam mendapatkan kerja yang ada. Dan kwalitas kerjapun yang didapat adalah yang menengah dan rendah, pernahkah pemerintah jujur mau mensurvey dan mengumumkan berapa prosen orang Bali menduduki jabatan Manager keatas yang ada di sektor pariwisata? Jangan tanya berapa prosen orang bali sebagai pemilik hotel dari jumlah hotel yang ada?
Belum ada Gubernur dan Bupati yang betul-betul menjalankan program pemerataan, sehingga sekian puluh tahun dengan pariwisata yang keluar dari pariwisata budaya, kemiskinan masih tetap saja bertambah. Mereka hanya tahu mengejar PAD, menaikkan PAD, tapi tidak pernah menyadari PAD itu dari mana asalnya, dan dengan PAD yang tinggi, apakah rakyat berkontribusi semua? Bagaimana rakyat bisa berkontribusi, karena untuk bertahan hidup saja mereka harus bersusah payah.
Kemiskinan juga didongkrak oleh biaya hidup yang naik terus, dampak dari ketimpangan kemajuan antara pertanian dengan pariwisata. Pariwisata dengan hotel2 megah, restaurant, club malam dan mungkin juga tempat-tempat prostitusi yang terselubung, telah mengkerek kebutuhan hidup menjadi mahal, sedangkan siapa yang mengantongi hasil-hasil dari pariwisata tersebut adalah sebagian kecil masyarakat Bali dan lebih banyak investor, yang tentunya hasilnya dibawa keluar untuk berinvestasi ditempat lain, hanya tinggal sebagaian besar masyarakat yang kena dampak kenaikan ini, tapi hanya menerima ampas-ampas hasil pariwisata ini.
Bali tidak membutuhkan kunjungan 30 juta, tapi membutuhkan pengunjung yang long stay dan memberi hasil yang merata kepada seluruh masyarakat Bali. Petani bisa hidup dengan menyuplai hasil taninya untuk kebutuhan wisatawan, kerajinan masyarakat di bantu pemerintah untuk bisa menembus langsung ke wisatawan, bukan melalui investor-investor yang mampu membuka mall-mall atau supermarket, yang akhirnya menggilas modal kecil dan menghargai hasil-hasil pengerajin dengan harga yang sangat murah. Logika sederhana, wisatawan berkunjung, dan membeli hasil keranjinan tangan-tangan seni rakyat, kenapa harus melalui pemodal-pemodal besar yang tidak menghasilkan apa-apa, tapi mengisap darah pengerajin. Pernahkah para pemegang kekuasaan berlogika yang sederhana seperti ini. Memang dampaknya pajak mungkin turun, tapi lebih baik meningkatkan tarap hidup rakyat, atau menaikkan penerimaan pajak?
Begitupula hotel-hotel supermewah, Bali tidak membutuhkan pengunjung yang hanya untuk menikmati hotel-hotel supermewah, yang mana hasil dari kunjungannya dinikmati dan dibawa kabur oleh investor luar bali. Cukup hotel-hotel kecil, bersih, berarsitek bali dan yang mampu dibangun serta dikelola oleh masyarakat bali itu sendiri, tanpa sedikitpun yang lari keluar. Masyarakat kurang mampu, tapi punya tanah, tinggal dibantu pemerintah melalui perbankan yang ada. Sehingga semua berputar di Bali, dan ekonomi diputar pula dengan kegiatan yadnya yang ada. Pertanian jadi hidup karena yadnya dan pariwisata sama-sama membutuhkan.
Apakah pengunjung akan turun, belum tentu, karena mereka yang datang adalah mereka yang ingin menikmati kedamaian, melihat uniknya budaya bali dan menikmati suasana penuh kasih dari hidup yang penuh toleransi. Yang menurun adalah pengunjung yang bertujuan berbisnis, yang membawa narkoba, pencari kenikmatan sex dan para back packer yang hanya mencari sensasi ataupun mabuk-mabukan.
Kalau begitu, apakah masih perlu reklamasi? Apakah masih perlu merusak kawasan-kawasan suci dan kawasan pertanian dengan hotel-hotel supermewah? Siapa yang membutuhkan? Kalau bukan untuk riil pemerataan kesejahteraan rakyat, apa perlu dilanjutkan?
Bersatulah rakyat semua, mereka yang mendapat lebih akibat mendungkung reklamasi, cobalah merenungi wajah bali kedepannya, masyarakat yang merupakan suadara anda sendiri yang makin miskin, dan kerusakan buana agung, yang nantinya pada akhirnya merusak buana alit, diri anda sendiri juga. Dan tujuan keyakinan anda “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma” akan makin jauh dan saat anda numitis kembali anda akan menemukan kesengsaraan masyarakat termasuk anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H