Lihat ke Halaman Asli

Pulau Bali Tidak Membutuhkan Reklamasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14286422622033222202

[caption id="attachment_409132" align="aligncenter" width="600" caption="Bali/Kompas.com"][/caption]

Bali adalah icon pariwisata Indonesia, malahan masih banyak orang-orang di mancanegara yang lebih mengenal Bali daripada Indonesia itu sendiri.  Tapi harus diingat bahwa Bali menjadi tempat yang punya daya tarik untuk dikunjungi, bahkan banyak seniman-seniman besar, pejalan-pejalan spiritual dan berbagai masayarakat dunia yang mempunyai kemampuan khusus, yang jatuh hati untuk tinggal di Bali, atau memilih Bali sebagai tempat mereka tinggal disisa hidupnya untuk bisa kembali kepadaNya dengan tenang. Bukan karena pembangunan pariwisata saat ini. Malahan hiruk pikuk pembanguan saat ini, makin menjauhkan Bali dari budaya Bali yang ada.

Sampai di tahun tujuh puluhan, suasana alam Bali, kehidupan masyarakat, agama dan budaya masih bisa dinikmati dengan rasa yang aman, penuh kedamaian. Di Denpasar, ibu kota provinsi Bali, banyak masyarakat ketika itu parkir mobil di jalan tanpa harus mengunci pintu, begitu juga sepeda motor dan sepeda diparkir tanpa alat pengaman sama sekali, tidak pernah terdengar adanya kehilangan. Masih di Denpasar, saya dengan sepeda ontel pergi kesekolah, betul-betul sangat nyaman. Tidak ada macet, tidak takut banjir bila hujan dan yang jelas tidak pernah punya rasa takut pulang malam-malam. Koranpun pada saat itu sangat jarang memberitakan tentang perampokan, penodongan dan bahkan pencurian. Kalaupun ada berita pencurian, itupun dari mulut ke mulut dan bahkan kita sudah bisa menebak dari mana asal pencuri tersebut.

Saya masih sering pulang kedesa saat itu, sebuah desa yang sejuk, desa Sidemen, Karangasem. Saya mandi disuatu pemandian umum yang terdiri dari beberapa pancuran yang mengalirkan air tanpa putus-putus. Disana saya bertemu dengan saudara-saudara saya didesa, teman-teman dan masyarakat lainnya, disana pula menjadi ajang silahturahmi, karena kita bisa ngobrol kesana kemari dengan bebas, penuh persahabatan. Kadang-kadang dilanjutkan dengan menikmati makanan ringan di sebuah warung dipinggir jalan. Saya bisa merasakan pula, bahwa masyarakat desa hidup berkecukupan secara merata.

Di tahun itu Bali sudah mendunia, wisatawan manca negarapun sudah banyak yang berkunjung, mereka menikmati sekali kehidupan di Bali. Di desa saya ini, yang pada saat itu belum ada fasilitas hotel yang representative, tapi sudah banyak touris yang kelihatan tinggal disana dalam jangka yang cukup lama. Mereka biasanya tinggal dirumah-rumah penduduk, mereka datang memang untuk menikmati hidup di Bali. Mereka merasa damai begitu menginjak tanah dan menghirup udara di Bali.

Saya merenungi Bali saat ini, dan saya kehilangan Bali. Pernah saya jalan-jalan di Ubud, dimana di tahun-tahun tujuh puluhan, merupakan tempat yang punya aura mistis seni yang tinggi, tapi saat saya jalan jalan ini, yang saya rasakan adalah kehidupan yang asing, dentuman musik dan kehidupan malam yang tidak pernah ada di tahun-tahun itu, kini menjadi trade mark dan menjadi santapan para pengunjung sepanjang jalan.

Dimana gamelan bali dengan penari-penari yang pesonanya memberikan inspirasi para seniman untuk berkarya seni? Dimana budaya Bali yang merupakan roh desa ini? Memang masih ada alunan gamelan bali ditempat tempat tertentu, dan hanya ditonton puluhan atau bisa ratusan orang dalam waktu yang tidak lebih dari satu jam. Setelah itu, gamelan ini tenggelam, tidak mampu mengalahkan dentuman kehidupan yang berpredikat modern ini.

Kuta, sebuah desa dipinggir pantai, yang ditahun-tahun itu juga lenggang, bersih, hijau. Kini juga sudah berubah menjadi pemukiman yang sangar, kumuh, macet dan bahkan air banyak menggenangi jalan-jalan bila hujan. Disini juga saya kehilangan wajah Bali yang menjadi kebanggaan saya. Pura, merajan, pelinggih-pelinggih, semuanya terjepit oleh bangunan-bangunan yang tidak memberi nuansa arsitektur Bali lagi. Asta Bumi dan Asta Kosala Kosali yang merupakan keagungan arsitektur Bali, tidak lagi menjadi pedoman para pengembang dan pemilik hotel-hotel di sana. Bandara International Ngurah Rai juga sudah berwajah yang aneh, malu-malu dikatakan sebagai bangunan Bali yang agung, tapi malahan menjadi bangunan megah yang tidak beridentitas.

Dengan perubahan yang mengerikan ini, kembali lagi Bali diguncang dengan reklamasi teluk  Benoa. Saya jadi tidak mengerti, apakah Bali ini betul betul sudah kekurangan potensi untuk dikembangkan? Saya kebetulan bekerja diperminyakan, saya melihat masyarakat-masyarakat didaerah penghasil minyak dan gas bumi, hampir mayoritas miskin. Mereka banyak mendapat belas kasihan dari perusahan melalui Corporate Social Responsibility (CSR). Kenapa mereka tetap miskin? Karena mereka hanya jadi penonton ataupun pekerja kasar, sedangkan hasilnya dikuras oleh perusahan dan bukan untuk membangun daerah tersebut. Apakah dengan reklamasi ini juga akan menjadikan masyarakat Bali disekitar daerah itu mengalami nasib yang sama dengan masyarakat didaerah perminyakan tersebut?

Apakah Reklamasi memang dibutuhkan? Untuk Siapa?

Akankah ditempat yang baru ini, akan dihijaukan, dijadikan lahan pertanian, dijadikan desa Budaya, dibangun Pura dan tempat-tempat lain yang berwajah Bali? TENTU TIDAK !!! Tidak ada orang mau menggelontorkan uang dalam investasi yang besar, apabila dia tidak yakin akan memperoleh pengembalian yang jauh lebih besar dari apa yang dikeluarkan. Dan itu hanya didapatkan bila yang dibangun adalah fasilitas komersil, hotel, restoran, diskotik, serta hal-hal lain yang jauh dari wajah Bali, dan juga tidak mungkin mensejahterakan rakyat Bali, karena rakyat bali tidak mampu bersaing dengan pekerja luar, dan tidak mungkin investor mau mendidik masyarakat Bali untuk bisa mengambil alih semua pekerjaan yang ada disana kelak. Rakyat Bali akan menjadi tidak lebih seperti masyarakat dilingkungan perminyakan tsb. Seperti yang terjadi sekarang di Ubud, Kuta, Nusa dua dan daerah wisata lainnya. Siapa yang menikmati keuntungannya? Tidak lain dan tidak bukan adalah investor itu sendiri. Kwalitas hidup masyarakat Bali tidak lebih baik dari masyarakat Bali di tahun tujuhpuluhan. Malahan sekarang banyak terdengar masyarakat miskin yang ditahun tujuhpuluhan tidak pernah saya dengar.

Apakah para penguasa dan wakil rakyat menyadari hal ini, dan apakah mereka punya niat untuk mensejahterakan rakyat ? Jawabannya tidak. Mereka itu hanya memakai barometer PAD (pendapatan asli daerah), yaitu pajak-pajak yang selama ini diterima. Tapi apakah mereka menyadari bahwa pajak besar itu dari para investor yang melarikan keuntungannya keluar Bali jauh lebih banyak dari Pajak tersebut? Para pejabat senang, karena ada perda upah pungut pajak yang bisa mereka nikmati untuk menambah besar pundi-pundi mereka. Tinggallah rakyat dengan UMR yang sangat kecil, yang hanya untuk bertahan hidup, serta sandang pangan yang pas-pasan. Seorang sarjana dari Bali, tamatan luar negeri, kerja di hotel bintang lima dikawasan Kuta, hanya mendapat basic salary satu juta rupiah. Coba bayangkan, bagaimana dengan masyarakat kebanyakan lainnya?

Reklamasi akan betul-betul bermanfaat bagi masyarakat Bali, apabila didaerah itu dijadikan kawasan pertanian, budaya dan religius yang ada di Bali. Tapi ini hal yang tidak mungkin. Hanya slogan slogan omong kosong yang mengatakan “revitalisasi pemanfaatan teluk benoa melalui reklamasi untuk kesejahteraan rakyat”. Baliho-baliho besar seperti ini, hanya pemanis untuk menutupi keserakahan yang tidak perduli dengan perusakan budaya, lingkungan dan agama.

Reklamasi bukan jalan keluar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, reklamasi bukan jalan keluar untuk menjaga lingkungan,  reklamasi bukan pula sebagai jalan keluar untuk memajukan pariwisata. Justru penataan yang mengembalikan wajah bali dengan budaya yang didasari agama, yang sangat diperlukan saat ini. Baik itu untuk kesejahteraan rakyat, untuk lingkungan dan ajegnya agama yang menjadi tuntunan hidup masyarakat.

Ingat! Buana Agung dirusak, maka Buana Alit pun akan menjadi rusak. Para penguasa dan wakil rakyat itu tidak menyadari hal ini. Karena mereka sudah tidak meyakini hukum Karmapala yang menjadi dasar keyakinan orang bali. Mereka tidak yakin lagi dengan pitutur para tetua yang mengatakan “padi tanam, padi yang akan dituai”. Guna Rajas dan Tamas sudah menjadi dasar prilaku kehidupannya.  Sehingga mereka mati-matian mempertahankan agar dilaksanakan reklamasi. Mereka berpikir bahwa yang penting adalah uang. Mereka tidak peduli dengan kerusakan anak cucunya dikemudian hari. Mungkin saja menjelang pulang kerumah tua mereka baru menyadarinya, dan itu sudah terlambat. Tinggal pahala buruk itu yang menggerogoti jiwanya.

Kesakitan, kesengsaraan, kerusakan yang mereka tabur saat ini, begitulah intensitas pahala yang akan diterima dan dirasakan olehnya di akhir-akhir hidupnya. Mungkin pula dalam kehidupan yang akan datang akan dia terima dan rasakan lagi, apabila muncul kesadarannya pada saat yang sangat mepet dengan waktu untuk menghadap Deva Yama. Sehingga pahala itu belum sampai habis dinikmatinya. Sang Hyang Suratma tidak pernah melupakan mencatat itu semua, dan pasti.





BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline