Lihat ke Halaman Asli

Stepbrother (Part 5)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Baca dulu Part 1 Part 2 Part 3 Part 4

Aku tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Hingga saat ini belum ada kejutan dari Akira. Aku sedikit was-was dan ini sangat-sangat bodoh. Para staff kantor kini berbisik-bisik saat melihatku. Sepertinya aku tengah menjadi topik pembicaraan hangat sejak kejadian memalukan 2 hari yang lalu. Setibanya di ruangan kerjaku, aku melihat mama sedang berbicara dengan seorang wanita yang sulit ditemukan jika bukan di majalah. Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Mungkin karyawan baru. Dia berbicara dengan lembut. Sepertinya mama menyukainya.

Hati-hati aku melangkahkan kaki, mama yang menyadari kehadiranku langsung menyapa memintaku untuk mendekat. Bukan hanya itu, tapi dia memperkenalkan kami.

Aku tersenyum tipis saat mengulurkan tangan, “Seyra,” Kataku canggung.

Dia segera membalas uluran tanganku, “Kana.” Katanya lembut. Dan tentu saja tersenyum.

“Sey, Kana ini karyawan baru. Jadi, kau akan kupindahkan ke Bagian Percetakan.”

“Hahhh? Kenapa mendadak?” Kataku sedikit histeris. Kana menoleh dengan kening berkerut dan memperhatikanku dengan tatapan wajah aneh. Aku menatapnya sekilas lalu kembali menatap mama yang berada persis di hadapanku.

“Lho? Memangnya kenapa? Bukankah ini yang kau mau? Kau sendiri yang meminta untuk dipindahkan ke kantor sebelah. Lagian mama juga sudah mempertimbangkan sejak kemarin.” Ujarnya tegas sambil merapikan rambut panjangnya dengan jari jemarinya.

“Tapiii.. Hmm..”

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, mama membalas tanpa ampun. “Tidak ada tapi-tapian. Mama khawatir kejadian kemaren antara kau dan Akira akan terulang lagi.” Balas mama mantap menatapku tajam yang menegaskan kalau dia tidak mau mendengar alasan apapun dariku.

“Baik baik baik. Aku mengerti.” Balasku jengkel. Dalam hati aku bingung. Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Betul kata mama. Aku sendiri yang meminta mama untuk memindahkanku ke Bagian Percetakan. Tapi kenapa sekarang aku protes? What’s wrong with me? Entahlah. Aku memang aneh!

Aku membereskan semua barangku dengan perasaan campur aduk. Antara senang dan sedih. Entahlah. Setelah selesai, aku meminta staff OB untuk membawanya ke kantor baruku. Aku melangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkan ruangan kerjaku yang sudah kutempati sejak 1 tahun yang lalu.

Di lobby depan, aku berpapasan dengan Akira. Dia memperhatikanku seperti orang kebingungan yang membawa tumpukan buku dalam jumlah overload. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali fokus dengan buku-buku bawaanku. Terlalu berat, dengan susah payah aku membawanya dengan selamat keluar kantor.

***

Jam makan siang yang sudah kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Di kantor baruku sebenarnya cukup menyenangkan. Staff-nya juga ramah-ramah. Tapi lagi-lagi aku masih kesal dengan keputusan mama yang sepihak.

Aku meneguk orange juice yang kupesan 15 menit yang lalu. Di kantin penuh sesak seperti biasa. Rasa bosan sudah menyelimutiku. Mami yang biasanya sudah tiba di kantin lebih awal, tapi hari ini tidak kelihatan batang hidungnya. Dan aku juga baru menyadari ada yang aneh. Kemarin Mami juga tidak menghubungiku sama sekali. Biasanya mami paling rewel kalau aku tidak masuk. Aneh.

Aku memandang sekeliling berharap menemukan objek yang bisa menarik perhatian. Tepat disaat kepalaku berputar 90 derajat, disaat itulah aku melihat objek yang membuatku terperanjat. Sedikit shock. Aku mengucek-ngucek mataku, tapi faktanya aku memang tidak salah lihat. Mami dan Akira sedang berjalan berdampingan melewati kantin yang berdinding kaca. Mami sesekali menyibak rambutnya ke belakang sambil terus berceloteh entah tentang apa. Akira sesekali tersenyum menanggapinya. Akira tersenyum? Ok. Itu langka dan perlu digarisbawahi. Keduanya terlihat akrab. Ini sudah menjawab pertanyaanku mengapa Mami tidak menghubungi kemarin. Dan ternyata inilah kejutan selanjutnya dari Akira yang kini sudah merebut satu-satunya teman terbaikku dikantor. Keterlaluan!

***

Di taman kampus yang tampak sepi, aku masih betah duduk di sana sejak 20 menit yang lalu. Setelah menyelesaikan ujianku, biasanya aku langsung pulang. Tapi sekarang untuk pulang ke rumahku sendiripun aku sudah malas semenjak kedatangan Akira. Tidak semangat kerja. Kuliah. Tidak semangat melakukan apapun. Apalagi mengingat kejadian di parkir. Aku jelas-jelas melihat Mami berada di mobilnya Akira. Ya tentu saja. Mereka pulang bersama.

“Seyra?” Tiba-tiba suara yang sudah tidak asing lagi itu mengangetkanku dari arah belakang. Aku tersadar dari lamunanku, segera menoleh cepat dan melihat sosok jangkung itu sudah berdiri mematung 1 meter dari tempatku duduk. Aku langsung mengenalinya walaupun aku tidak bisa melihat jelas wajahnya karena sinar lampu yang memang redup.

“Sedang apa kau di sini?” Tanyanya lalu ikut duduk di sebelahku. “Belum pulang?” Tambahnya lagi. Kini matanya menatap lurus ke depan memandangi mahasiswa yang berlalu-lalang.

“Kau sendiri?” Aku tidak menemukan kalimat yang tepat untuk kuucapkan, jadi kukira bertanya balik adalah kalimat yang paling tepat. Aku menoleh sekilas lalu mengikuti arah pandangnya. Davin banyak berubah. Penampilannya lebih modis dibanding dulu. Dulu Davin itu sangat cuek dengan penampilannya.

“Kau tidak berubah ya, kalau ditanya selalu tanya balik.” Katanya sambil tersenyum. Senyum itu. Ya senyum itu yang sudah membuatku jatuh hati padanya. Tapi terakhir aku melihat senyum yang sama adalah 6 bulan yang lalu.

“Kau kenapa? Sedang ada masalah? Kau tahu kau bisa cerita padaku kapan saja kau mau. Aku pasti ada waktu untukmu.” Katanya tulus, kini dia menoleh menatapku iba. Tidak bermaksud menatapnya balik. Aku menatap kosong ke depan. Rasanya mendengar ucapannya barusan ingin membuatku marah dan memuntahkan semua kekesalanku padanya di masa lalu. Tapi kurasa sudah tidak perlu. Toh sekarang aku sudah tidak peduli lagi. Aku sudah melupakan kejadian itu walaupun dengan susah payah.

“Bukan masalah besar. Tidak perlu dibahas. Sudah lama tidak melihatmu di kampus. Kukira kau cuti.” Kataku asal. “Kau ujian apa?” Tanyaku basa-basi.

“Aku ke kampus kok. Kita kan beda fakultas. Ujian Bahasa Inggris. Selesai ujian langsung ke sini.”

“Cari Arine?” Tanyaku blak-blakan. Seingatku Arine memang mengambil jurusan yang sama denganku. Aku membenarkan posisi dudukku, melirik Davin beberapa detik. Dan aku melihat ada yang aneh dari sorot matanya saat aku bertanya tentang Arine.

“Tidak. Aku mencarimu.” Katanya pelan. Hampir tidak terdengar. Matanya menatap lurus ke depan. Lalu menunduk.

“Mencariku? Buat apa?” Selidikku penasaran. Kurasa semenjak kami putus, Davin benar-benar menganggap hubungan kami memang sudah selesai. Ini pertama kalinya dia menemuiku sejak Davin meminta putus dariku.

“Ingin tahu kabarmu. Kau tahu? Jujur aku merindukanmu, Seyra.” Suaranya kecil hampir tidak terdengar.

“Benarkah? Aku tidak mengerti kenapa kau berbicara seperti itu.”

“Aku juga tidak mengerti. Akhir-akhir ini. Aku merasa kosong.”

Kringggg.. Kringgg..

Bunyi telepon mengagetkanku sekaligus menyelamatkanku dari situasi tidak mengenakkan ini. Aku bernapas lega sambil merogoh ponselku dari dalam tas. Setelah menemukannya, terpampang nama mama di layar.

“Ya, ma. Ada apa?”

“Kau sedang di mana?” Tanya mama balik. Kurasa aku mewarisi sikap mama yang satu ini.

“Di kampus. Bentar lagi pulang.” Aku melirik arlojiku saat mengatakannya. Ternyata sudah jam 10 malam.

“Jam begini masih di kampus? Segera pulang ya. Oia, nanti pulang sekalian mampir beli roti di toko langganan mama.”

“Baik, ma.”

“Hati-hati. Jangan ngebut.”

“Iya.”

Aku menutup flap ponselku. Lalu segera memasukkannya kembali ke dalam tas.

“Vin, aku pulang dulu ya.” Pamitku. Davin tampak tengah memperhatikanku sejak tadi dan kini Davin tampak kecewa. Namun tidak mengatakannya.

“Kau bawa mobil?” Tanyanya.

“Iya, mobilku di sana.” Aku menunjuk halaman parkir yang tidak jauh dari tempat kami duduk.

“Baiklah. Hati-hati ya.”

“Ok. Selamat malam.”

Sepanjang perjalanan pulang, aku tidak berhenti memikirkan Davin. Aku tidak pernah melihat raut wajah Davin seperti itu selama 2 tahun kami pacaran. Ada apa dengan dirinya? Memikirkan itu membuatku sesak. Aku tidak bohong kalau memang masih ada luka yang membekas setiap kali mengingatnya. Padahal aku sudah meyakinkan diriku kalau aku sudah memaafkannya.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline