Lihat ke Halaman Asli

Revolusi Mental

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Suroto Semenjak Calon Presiden (Capres) Joko Widodo menyampaikan istilah “revolusi mental”, kemudian istilah ini terus jadi bahan pembicaraan hangat dari banyak orang. Di media sosial, banyak yang mencaci, karena mungkin beda perspektif. Para pencaci mungkin merasa bahwa revolusi mental itu tidak banyak direferensi dalam perspektif perubahan sosial dari kehidupan bernegara. Orang lebih mengenal terminologi “revolusi sosial” ketimbang “revolusi mental’. Terlepas dari perdebatan diatas, mengingat Capres Joko Widodo adalah beralatar belakang seorang birokrat politik, yang seringkali menggunakan best practices manajemen untuk studi kasus pelaksanaan tugas kepemerintahannya di Solo maupun di Jakarta, maka pada kesempatan ini saya ingin mengurainya dari perspektif manajemen. Revolusi Mental ala Taylor Istilah “revolusi mental” di dalam ilmu manajemen sebetulnya bukan hal baru. Istilah ini menjadi istilah penting manajemen ilmiah yang dikembangkan oleh Profesor Frederick W. Taylor (1856-1915). Istilah “revolusi mental” ini juga pernah disampaikannya di depan Konggres Khusus, Amerika Serikat pada tahun 1912 yang membuat situasi heboh karena mengingat sistem manajemen birokrasi dan juga industri pada waktu itu masih mengandalkan pada model pembagian kerja dan juga supervisi yang ketat yang dianggap masih ortodhok. Taylor mengatakan empat hal utama untuk mencapai revolusi mental yang intinya ditekankan pada empat hal. Pertama, bangun mentode ilmiah untuk tugas baru. Kedua, untuk melaksanakan tugas, perlu seleksi ilmiah, pelatihan dan pengembangan orang agar kompeten. Ketiga, setelah pekerjaan jelas tujuanya, orang terbaik dipilih untuk menjamin pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Keempat, fungsi yang prinsip adalah pentingnya perencanaan yang musti terpisah dengan pelaksanaan (Davis, 1962). Tekanannya adalah orang dan sistem. Untuk mencapai performa manajemen ala Taylor ini, ada beberapa prinsip yang harus diikuti. Diantaranya adalah ; mempelajari studi waktu dan gerak (time and motion study), fungsi dan spesialisasi kerja, standar dari kegiatan kerja, peralatan, dan orang, kartu instruksi sebagai standar prosedur operasional dan lain sebagainya yang pada intinya ditujukan untuk ciptakan efisiensi. Pada intinya, manajemen kemudian dapat meningkatkan perilaku kerja lebih baik, hasilkan tabungan/cadangan, dan keuntungan serta hasilkan upah tenaga kerja yang lebih baik, jam kerja lebih pendek, dan lingkungan kerja yang lebih baik. Demikian, diharapkan para pelanggan atau masyarakat yang dilayani akan mendapatkan manfaat yang lebih baik, barang/jasa lebih baik dan harga lebih murah. Kartu Ala Jokowi Dalam berbagai kesempatan, kita saksikan Capres Joko Widodo mengeluarkan kartu. Betapa banyak mendapatkan kritikan banyak pihak karena berbagai pertanyaan selalu ujungnya adalah “kartu’. Setiap persoalan selalu jawabanya adalah “kartu’. Dalam proses pencapaian manajemen “revolusi mental” sebetulnya hal tersebut bisa dimengerti, karena penjelasan kartu-kartu yang diciptakan oleh Joko Widodo itu sebetulnya adalah untuk berikan gambaran bagaimana sebuah manajemen itu bisa berjalan secara simple, tidak banyak birokrasi, dan tidak menghasilkan biaya yang lebih banyak. Penjelasan mengenai kartu adalah untuk menggambarkan benefit yang nyata dari kompleksitas manajemen. Taylor sendiri menyebut “kartu instruksi” sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip dalam pencapaian “revolusi mental” seperti yang diharapkan. Sebagai pengembang koperasi modern, saya sendiri sering menggunakan contoh kartu anggota koperasi untuk menjelaskan bagaimana orang mendapatkan benefit dari koperasi. Lebih terasa mudah dan simpel untuk dimengerti oleh audien. Bahkan saya membayangkan, andaikan Pak Joko Widodo juga mau menerapkan kartuisasi pada berbagai hal, dan termasuk juga mendukung kartuisasi pada koperasi, maka saya yakin, kesejahteraan masyarakat banyak akan lebih mudah didapat. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana hebatnya republic ini bila setiap anggota masyarakat punya kartu koperasi yang berarti selain dapat manfaat dari layanan juga sebagai bukti kepemilikkan terhadap perusahaan koperasi yang saya kembangkan. Setiap orang pasti akan ramai mengembangkan perusahaan koperasi karena dalam koperasi jadi pelanggan/produsen itu juga sekaligus menjadi pemilik koperasi yang setiap akhir tahun juga mendapat keuntungan atau sisa hasil usaha dari koperasi. Kesimpulan Dalam hal ini saya setuju dengan istilah revolusi mental yang sudah diperluas cakupanya oleh Pak Joko Widodo dalam tulisanya di Kompas (10/5) untuk membangun bangsa dan negara ini. Saya juga mengerti kenapa Pak Joko Widodo selalu mengeluarkan kartu karena latar belakang beliau yang memang seorang birokrat-politik yang tugasnya adalah memberikan pelayanan publik. Tapi lebih penting dari itu, bahwa perubahan apapun itu, tentu dibutuhkan mental revolusioner mengingat tantangan bangsa ini sangat kompleks. Siapapun Presiden yang terpilih nanti, kualitas pemimpin mendatang harus mampu menempatkan diri sebagai seorang pemimpin eksekutif yang memiliki motif pelayananan yang kuat. Sebab manajemen revolusi mental itu harus datang dari pucuk-pucuk pimpinan bangsa ini. Di era digital saat ini, kita memang butuh pembaharuan manajemen dalam banyak hal untuk mengatasi tuntutan masyarakat yang serba ingin cepat terlayani. Kita butuh banyak ide-ide manajemen revolusioner untuk keluar dari pola manajemen pemerintahan lama yang serta birokratif dan lamban. Terlepas dari berbagai kelemahanya, apa yang jadi temuan filosofi manajemen Taylor dapat kita manfaatkan untuk menggagas temuan-temuan baru dalam pelayanan. Jakarta, 21 Juni 2014 Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Wakil Ketua Induk Koperasi Konsumsi Indonesia (IKKI), Ketua Umum Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPeK), alumni Unsoed.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline