Lihat ke Halaman Asli

Kasus SMAN 3 Jakarta, Tradisi Kekerasan Akan Berlanjut?

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Inilah salah satu pasal hasil amandemen UUD 45 yang menegaskan tekad bangsa bahwa hukum, berbeda dengan masa sebelum Reformasi, akan dihormati. Keadilan akan ditegakkan, dan tiap warganegara berkedudukan sama di depan hukum.

Menanggapi kasus tewasnya 2 (DUA!) siswa pencinta alam SMAN 3 Jakarta dalam waktu yang berdekatan, setelah mengikuti kegiatan Sabhawana, klub pecinta alam milik SMA elit di kawasan Setiabudi Jakarta Selatan ini, salah seorang pembaca media online menulis komentar yang menyentak kesadaran saya, sebagai seorang ayah. “Bebaskan saja anak2 itu! Seperti anda membebaskan seorang anak artis yang MEMBUNUH 7 orang. Seperti anda membebaskan (hukuman ringan) anak mentri yg membunuh 2 orang karena teledor mengemudi. Lain waktu kalau saya mau bunuh orang, saya bayar aja anak-anak jalanan di bawah umur untuk membunuh target saya. Toh mereka juga akan bebas,” demikian komentar si pembaca. Suatu ungkapan kekecewaan mendalam terhadap penegakan hukum di negeri kita, khususnya yang berhubungan dengan tindakan kriminal dengan korban tewas, yang dilakukan oleh remaja anak kalangan elit negeri ini. Para remaja itu dinyatakan bersalah tapi dimaafkan. Bagaimana dengan orang tua mereka, apakah mereka mendapat hukuman? Tidak sama sekali. Seakan-akan mereka tidak punya peran apa-apa dalam tindakan yang dilakukan anak-anak mereka.

Empat terdakwa murid SMAN 3 Jakarta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan kemudian diberi “hukuman percobaan” berupa lapor ke Polisi selama 2 tahun, tanpa harus menghuni sel penjara. Tidak ada guru, atau pembina sekolah yang mendapat sanksi. Hukuman ini dirasakan amat ringan oleh orangtua korban yang merasa diperlakukan tidak adil dan mengkhawatirkan berulangnya kekerasan, atas nama nilai tradisi ini-itu di sekolah-sekolah, bukan hanya di SMAN 3 Jakarta.

Ironi sesungguhnya bukan hanya dalam penegakan hukum yang terasa pilih bulu, namun pada pengabaian fakta sosial bahwa banyak remaja hidup di lingkungan yang mentoleransi kekerasan, asalkan atas nama sesuatu yang “luhur”. Kalaupun kekerasan itu memakan korban, para orangtua, guru, teman-teman siap membela. Demikianlah, visi-misi tentang persatuan bangsa akan sulit dicapai karena visi-misi keluarga-keluarga elit, yang menjadi sorotan masyarakat luas, bersikap abai terhadap kekerasan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline