Sebagai masyarakat Indonesia yang hidup di era 1965 mengetahui persis bahwa sebelum tahun 1965, Angkatan Udara Indonesia sangat kuat dan amat disegani di Asia Tenggara, bahkan Asia. Namun setelah kejadian G 30 S/PKI mencuat seolah olah turut serta membuat"mati"AURI. Banyak penyesalan yang dirasakan oleh para tokoh Indonesia pada zaman itu.
Mereka menyayangkan bagaimana mungkin Angkatan Udara yang setengah mati dibangun dan tengah memulai perkembanganya hancur karena menjadi korban suatu kelompok yang memiliki kepentingan politik pada rezim itu. Angkatan Udara kita difitnah terlibat dengan organisasi PKI. Gerakan 30 September 1965 yang disusul pergantian rezim jadi biang keladi kehancuran AURI pada masa itu. Ironisnya justru masyarakat yang tidak menahu sejarahnya seakan-akan latah untuk ikut serta menjadi penyebar fitnah. Seolah olah mereka tahu persis apa yang terjadi.
Para Jenderal TNI AD telah menjadi korban kebiadaban dari petualang yang dinamakan Gerakan 30 September dan berakhir di sebuah sumur kawasan Lubang Buaya dan secara geografis memang berdekatan dengan kawasan pangkalan udara Halim. Inilah yang menjadi salah satu penguat mereka yang memiliki kepentingan politik untuk turut memperburuk nama Angkatan Udara. Api kebencian terhadap AURI sontak menyala. Halim dianggap sebagai sarang G30S. Maka pada masa selanjutnya ini menjadi stigma Angkatan Udara.
Malam jahanam G30 S/PKI membuat AURI memasuki masa kelam. Politik merasuk, merusak. Angkatan Udara kita yang sebelumnya jaya menjadi bulan-bulanan kelompok yang maruk dan haus akan kekuasaan.
Sejak kejadian yang membuat Angkatan Udara kita "terjegal" membuat mata hati para petinggi negara dan masyarakat Indonesia menyadari bahwa ini merupakan bagian dari skenario politik yang menjadikan Angkatan Udara sebagai korban dari kelompok yang rakus akan kekuasaan. Kini AURI sudah bangkit dan berlari menghapus stigma pada masa lalu. kemampuan yang dimilikinya tidak kalah dengan angkatan udara yang dimiIiki oleh negara lain. Rezim telah berubah, AURI kita semakin terdepan dan profesional.
Namun bak kata pepatah semakin tinggi pohon semakin banyak tiupan angin yang menghembus. Banyak orang"kerdil"yang tak tahu jalannya sejarah, ikut-ikutan mencari kesalahan yang tak kunjung ditemui."
Sebagai warga masyarakat kami berharap kepada bapak-bapak yang konon katanya seorang politikus handal atau seorang akademis yang memiliki ilmu yang memumpuni agar tidak merasa sebagai manusia yang sok tahu tentang perjalanan sebuah sejarah. Apalagi itu sebagai sejarah angkatan perang kita sendiri. Akan elok rasanya sebagai warga yang baik kita belajar kembali sejarah dan mencintai angkatan perang yang dimiliki Indonesia. Karena semua pernyataan yang belum tentu benar akan menjadi biang fitnah untuk memecah belah persatuan dan kesatuan anak bangsa.
Sebagai warga masyarakat Indonesia mari kita tanyakan pada diri ini, sudah pantaskah kita disebut sebagai warga masyarakat yang berbudi jika yang kita kerjakan hanya mencari cari kesalahan. Apalagi yang dicari kesalahan angkatan perang kita yang notabene sebagai alat pertahanan. Mari kita dukung angkatan perang Indonesia sebagai alat pertahanan Negara kita.
Apakah tidak terpikirkan untuk setidaknya berterimakasih terhadap apa yang mereka perbuat. Dimana feeling guilty kita saat semua kesalahan kita disadari. Tidak kah kita ingin memperbaikinya. Mulai dengan mencintai Angkatan perang kita, mencintai angkatan udara kita. Semoga menjadi lebih baik.
Daun kelor adalah daun yang ingin meluruskan sejarah yang tidak tertulis oleh bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H