Lihat ke Halaman Asli

Petilasan Tribuana Tunggadewi Kerajaan Majapahit

Diperbarui: 13 Januari 2025   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap aku mengamati sudut-sudut kamar tidurku, perasaan aneh muncul setiap saat. Padahal kalau kuamati  mulai dari jendela kamar yang berhias tirai rentengan kerang laut dengan warna keemasan, sudut almari, sampai langit-langit yang berwarna putih yang agak kusam, tak ada hal-hal yang mencurigakan.

Namun, setiap kali aku menatap lebih lama, ada semacam kegelisahan yang tak mampu kujelaskan. Suasana di kamar ini, meskipun terlihat biasa, selalu membuatku merasa diawasi, seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik bayangan.

Aku mencoba mengabaikannya, berpikir mungkin hanya perasaanku saja. Namun, setiap malam, ketika semuanya sunyi dan aku terbaring di tempat tidur, perasaan itu semakin kuat. Tirai kerang laut yang menggantung di jendela berayun pelan tanpa angin, menimbulkan suara gemerincing yang biasanya menenangkan, tapi sekarang malah menimbulkan sensasi aneh. Suara gemerincing itu seperti bisikan, seakan memanggil dari kejauhan.

Suatu malam, aku memberanikan diri untuk menyelidiki lebih jauh. Aku menyalakan lampu senter, menyusuri setiap sudut kamar dengan saksama. Kuamati tirai, memastikan tak ada yang janggal, dan kuperiksa almari serta setiap celah di lantai dan dinding. Tapi tetap saja, tak ada apa-apa.

Malam itu, dengan senter yang masih kupegang erat, aku memberanikan diri menggeser kursi ke tengah kamar, menaikinya, dan menyentuh permukaan langit-langit. Di sanalah aku menemukan sesuatu---sebuah bekas goresan, kecil tapi tajam. Seolah-olah seseorang pernah menggaruk atau menorehkan kuku ke sana. Dan ketika aku menarik tanganku, aku melihatnya: secarik kertas kecil yang terselip di retakan langit-langit.

Jantungku berdegup kencang. Perlahan kubuka lipatan kertas itu, dan hanya ada satu kalimat yang tertulis di sana dengan huruf-huruf miring: "Aku selalu mengawasimu."

Kamar ini menjadi saksi bisu tiga puluh tahun yang lalu. Mahkota yang kumiliki kuserahkan sepenuhnya pada suamiku tercinta.  Tetapi mengapa kamar ini juga yang membuat aku merasa cemas mulai dua tahun terakhir ini. Seakan kamar ini sudah tak rela lagi menerima diriku bersimpuh dihadapan suamiku.  

Dua tahun terakhir, setiap kali aku memasuki kamar ini, hatiku seperti diremas. Aku merasakan keanehan yang sulit dijelaskan. Seolah-olah kamar ini menolak kehadiranku, memberiku firasat seakan ada yang mengintai dari bayang-bayang masa lalu.

Kamar ini dulunya tempat kami merajut cinta dan menaruh harapan-harapan besar. Di sinilah aku mempersembahkan seluruh hatiku kepada suamiku. 

Setiap malam, saat aku berdoa, aku merasa ada yang menyusup di antara kami. Udara kamar ini menjadi berat, seolah-olah ada yang mengawasi dari balik cermin besar yang terpajang di sudut ruangan, cermin yang kami beli bersama sebagai lambang janji kami akan saling menjaga.

Aku mencoba mengusir perasaan itu, berulang kali meyakinkan diri bahwa ini hanya bagian dari kesedihan yang tak kunjung pudar. Namun, semakin aku melawan, semakin perasaan itu mencekikku. Bahkan, suara-suara samar mulai terdengar di malam hari. Pernah aku mendengar bisikan pelan, hampir seperti suara Amirah tetanggaku yang memanggil namaku---Sari---dengan geram, tidak seperti biasanya lembut kalau ketemu langsung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline