Lihat ke Halaman Asli

Nurcholish Madjid & Neomodernisme Islam

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1409278177767930838

KOMPATIBILITAS ISLAM DAN MODERNITAS DALAM NEO-MODERNISME NURCHOLISH MADJID
Oleh: Suratno

(Tulisan ini telah dimuat di: Jurnal Universitas Paramadina, Edisi Khusus: Pemikiran Prof. DR. Nurcholish Madjid, Vol. 4, No. 3, Agustus 2006, Jakarta: Universitas Paramadina, hal. 315-336)

Nurcholish Madjid (1939—2005), also known as Cak Nur, a vanguard of renewal in Islamic thought in Indonesia, was mainly concerned with three topics namely: Islam, modernity and Indonesia. On Islam and modernity, Cak Nur explains that practically many Islamic and Muslim countries have obstacles in their modernization processes due to their ignorance and reduction of heritage of traditional culture as well as classical Islam. For Cak Nur, such procesess would be successful if the spirit of modernity is placed in the whole of cultural frame related to tradition and cultural heritage of Islam and their own nations. Furthermore, Cak Nur emphasizes that theoretically Islam is compatible with modernity and it can be seen in the history of classical Islam. Modernization, for Cak Nur, is neither westernization nor Christianization. It is a changing process from the old way of thinking and working that is irrational to the new one that is rational in order to achieve benefit of thinking and working optimally that lead human to their wealth and welfare. This changing process is imperatively and fundamentally God’s order considering the Qur’an 45:13, 2:170, 43:22—25 etc. Also, some evidences of genius of Islamic modernity can be seen in the era of classical Islam in which we can see that what are known as ideals of western modern era such as universalism, cosmopolitanism, internal relativism, openness, pluralism etc, were found in that era. In Indonesian context, genius of Islamic modernity can be seen in Pancasila as the basis and philosophy of state. In Cak Nur’s opinion, Pancasila can be juxtaposed to the Madinah Chapter concerning its spirit of Bhinekka Tunggal Ika that is appropriate to be a basis of social development that promotes religious tolerance and pluralism. The similar spirit can be seen in the Madinah Chapter constituting all of citizens, no matter they are Muslims, Jews, Christians etc, are one umma/nation with their equal rights and duties. Those above are Cak Nur’s arguments to realize Indonesia a laboratorium of developing religious tolerance and pluralism framed by genius of Islamic modernity.
(SEKILAS) AKAR HISTORIS PERGULATAN ISLAM DAN MODERNITAS

Sudah tentu Nurcholish Madjid (1939—2005), Selanjutnya di sebut Cak Nur, membicarakan Islam dan Modernitas. Ruang diskusi Islamnya memang bermuara pada 3 hal utama yakni: ke-Islaman, kemodernan dan ke-Indonesiaan. Concern Cak Nur pada diskursus Islam dan Modernitas bukannya tanpa alasan. Meskipun sering mengutip pernyataan sosiolog Robbert. N Bellah bahwa Islam memiliki kelenturan luar biasa (kompatibel) dengan modernitas, dan bahwa hal-hal ideal di era modern Barat sekarang secara teknis sudah terdapat pada zaman Islam salaf (klasik), namun realitas kekinian yang berkembang di dunia Muslim, dimana proses modernisasi banyak menemui hambatan jelas menggelitik pikiran Cak Nur bahwa ada yang keliru dalam proses modernisasi di dunia Muslim.

Secara historis, proses modernisasi di dunia Muslim sebenarnya sudah berlangsung lama, tepatnya sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad ke-18 M. Masuknya modernitas ke dalam dunia Muslim melewati suatu proses yang disebut dengan l’irruption (bahasa Perancis) yang berarti serbuan (militer). L’irruption pertama kali terjadi ketika Napoleon Bonaparte melakukan ekspedisi ke Mesir tahun 1798-1801. Ekspedisi Napoleon selanjutnya tidak hanya bermakna penaklukan militer tetapi juga eksplorasi ilmiah, karena selain membawa pasukan Napoleon juga membawa serta sekitar 500 ilmuwan ke Mesir. Pada periode berikutnya setelah Mesir berhasil ditaklukkan dan kemudian merambah ke wilayah lain, kaum Muslim secara tidak langsung seperti disadarkan akan kelemahan-kelemahannya. Bersamaan dengan ekspedisi Napoleon itu, berturut-turut negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Italia juga melakukan kolonisasi dibeberapa negara Muslim. Bahkan, negara-negara Eropa itu tidak hanya melakukan kolonisasi, tetapi juga proses modernisasi, suatu paket besar yang didalamnya terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, agama dan budaya. Akibat proses modernisasi sebagai produk kolonialisme yang awalnya lebih bersifat Eropanisasi dan Westernisasi itulah kemudian muncul ketegangan di negara-negara Muslim.

Ketegangan itu, sebagaimana dinyatakan Daniel Lerner, akhirnya melahirkan semacam ‘kegagapan’ kaum Muslim dalam mengawinkan Islam sebagai entitas yang sakral, dengan modernitas sebagai entitas yang profan. Sementara, W. Brand menjelaskan fenomena ketegangan itu sebagai ‘salah baca’ kaum Muslim terhadap modernitas. Menurutnya, hal ini bisa dilihat dalam kasus Turki tahun 1924; ketika Mustafa Kemal Attaturk melakukan serangkaian modernisasi, yang popluer dengan istilah ‘Kemalisme” dengan 6 prinsipnya yakni, republikanisme, nasionalisme, populisme, etatisme, sekularisme, dan reformisme. Melalui proyek ‘kemalisme’nya, Kemal melakukan perombakan total seluruh institusi politik dan kultural di Turki untuk kemudian diselaraskan dengan Barat, meski pada akhirnya gagal total dan Kemal dicemooh karena kecerobohannya.

Kegagalan modernisasi di dunia Muslim (seperti Turki) menggelitik pikiran banyak tokoh, dan di sini termasuk juga Cak Nur untuk melakukan analisis tentang hal tersebut, terutama dikaitkan dengan hubungan antara modernitas dan tradisi dalam perspektif sosiologi. Mengapa modernisasi di Turki gagal, padahal di Jepang berhasil?

Menurut Cak Nur, kaum pembaharu di Turki, khususnya kelompok Kemal, dalam menjalankan proyek modernisasinya hanya melibatkan teknikalisme bangsa Turki. Cak Nur melihat ada dua kesalahan utama dalam pembaharuan di Turki. Pertama, adanya kompleks psikologis dalam rangka penegasan ide tentang modernitas (misalnya; Turki ingin diakui sebagai Eropa “yang maju”, dibanding sebagai Asia “yang terbelakang”. Kedua, adanya pemutusan warisan (tradisi) kultural yang sudah berakar sebelumnya di masyarakat, khususnya yang menyangkut tradisi masyarakat Turki dan huruf Arab.

Berbeda dengan Turki, Jepang justru melakukan modernisasinya, bukan dengan cara menginginkannya disebut sebagai Eropa, tetapi dengan cara menegaskan keasliannya (originality). Jepang juga tidak melakukan pemutusan warisan (tradisi) kulturalnya, tetapi melakukan asimilasi jiwa kemodernan dengan kultur asli Jepang. Sumber inspirasi untuk menjadi modern bukan Eropanisasi, tetapi semangat dan jiwa keagamaan Jepang yakni Tokugawa. Pada perkembangan selanjutnya, berbeda dengan Turki yang terbukti gagal dengan upaya modernisasinya, Jepang sejak Restorasi Meiji 1868 justru berhasil menunjukkan keberhasilan modernisasinya kepada dunia internasional, meskipun sempat mengalami jatuh bangun.

Kasus Turki dan Jepang memberi pelajaran berharga bagi banyak tokoh, seperti juga Cak Nur, terkait dengan proyek modernisasi di negara-negara Muslim. Memadukan Islam sebagai produk Tuhan yang sakral, eternal (abadi) dan transenden, dengan modernitas sebagai produk peradaban manusia yang profan, temporal dan manusiawi bukanlah pekerjaan yang mudah. Singkatnya, banyak tokoh yang sepakat bahwa proses modernisasi yang telah dan sedang berlangsung di berbagai belahan dunia Muslim akan mengalami banyak hambatan jika melupakan tradisi. Jepang yang memanfaatkan tradisi sebagai khasanah kultural untuk menjadi modal dalam proses modernisasi itu terbukti berhasil. Sementara, Turki yang mengabaikan hal itu justru dianggap gagal Islam dan modernitas dalam proses modernisasinya.

Analisis kritis terhadap proses modernisasi yang telah dan sedang berlangsung dibelahan dunia Muslim itu memang menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang diskusi Cak Nur tentang diskursus Islam dan modernitas. Cak Nur mengkritik modernisasi yang mengabaikan dan (bahkan) mereduksi warisan kultur tradisional dan khasanah ke-Islaman. Dalam pandangan Cak Nur, proyek modernisasi akan berhasil dengan baik, jika jiwa dan semangat modernitas itu diletakkan dalam kerangka kultural yang secara menyeluruh berkaitan dengan tradisi dan warisan budaya (kultur) dan agama (Islam) dari bangsa yang bersangkutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline