Lihat ke Halaman Asli

Senandung Buruh Kecil

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

belum usai butir embun membasuh bahu dedauanan
langkah si kecil tertatih, menyisir tepi trotoar beku tanpa senyum.
Sesekali mata sayunya menatap mesin beroda yang angkuh
berlari terburu, pun tanpa gurat-gurat senyum.
Sebatang rumput kering yang menyelip di sela jembatan batu
kering mengerontang tak lagi menebarkan aroma.
Rengek si buah hati dan keluh sang ibu
bekal ransum yang musti dibawanya.

Asa…
ada bisikan lirih yang menyeruak dari lorong jiwa
masihkah ada asa?
aku cuma buruh kecil, gumamnya.
Teriakanku membumbung tinggi ke langit tujuh,
tapi, siapa yang mendengarnya?
aku sendiri saja tak bisa mendengar gemanya..

Suaraku yang riuh, gaduh dan bertalu, terkubur dalam arogansi dentuman paku bumi.
Tuhan…
kitab suciMu mengisyaratkan Kau tak berjarak
Aku cuma buruh kecil, gumamnya.
kalo tetes air mata tak bisa menjadi kunci pembuka pintu arasy-Mu
biarlah rintih tersimpan pada sela biji-biji tasbih
sementara di bumi,
jerit dan suara terhimpit pondasi beton tirani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline