Perempuan itu, yang kini cucu-cucunya memanggilnya dengan sebutan Umi. Nama pemberian orang tuanya dulu hampir jarang lagi menjadi panggilannya. Saat ini, di usianya yang jauh dari kata muda, hanya mencoba mengingat kembali lapisan-lapisan kisah yang masih mengendap dalam benaknya. Tak banyak yang bisa diingatnya. Sebagian hilang bersama pergantian hari dan masa.
Kini ia menyaksikan dunia yang berbeda. Jika di masanya beranjak dewasa, hanya lampu petak yang menerangi malam. Kala itu, yang seumuran dengannya, hanya disibukan dengan urusan sawah dan ladang. Sesekali di dapur dan di depan cermin. Tak banyak bedak dan lipstik yang berjejer di depan kaca. Minyak kelapa serta jeruk tua saat mandi cukup mengkilapkan rambutnya yang panjang terurai hingga pantat.
Selain itu, kesibukan lain yang menjadi musiman setiap tahun, pergi pagi menanam padi, hingga sore menjelang malam untuk membantu perekonomian keluarga. Jika lelaki ingin menaruh minat, tak mudah menjumpainya karena ketatnya adab dan normal yang berlaku.
Hanya lewat perantara yang menjadi jembatan penghubung antara hati seorang perjaka kepada perempuan kala itu. Zaman dimana teknologi berupa handphone masih menjadi mimpi bagi orang di pedesaan seperti dirinya. Bahkan belum ada siaran televisi yang memberi kabar tentang dunia luar. Semua menjadi gelap serupa pekatnya malam dan nyanyian burung dari dalam hutang yang tak jauh dari kampung.
Kini, ketika anak-anaknya sudah berpisah rumah dengannya karena sudah berkeluarga, dirinya tetap memilih tinggal di rumah warisan suaminya yang duluan pulang menghadap ilahi robi. Hari-harinya hanya duduk sembari mengerjakan sesuatu yang bisa dilakukan oleh anggota tubuhnya yang mulai renta. Tak banyak harapan pada anak-anaknya karena usianya yang makin uzur. Dirinya tidak sekali pun menuntut agar anaknya memperhatikannya. Melihat mereka bahagia saja dirasanya cukup mewakili kepuasannya sebagai seorang ibu.
Tapi satu yang paling sulit dilupakannya adalah ketika membesarkan anak-anaknya hingga bisa mengenyam bangku sekolah. Ketika banyak orang menaruh perasaan sinis padanya, karena dianggap terlalu berani mendorong semua anaknya untuk sekolah. Malah ia jawab dengan tindakan, bukan datang menghardik lalu membuat perhitungan dengan sumpah serapah. Dirinya tidak perlu membakar keangkuhan dengan kata-kata pada mereka yang tidak menyukainya.
Keyakinan menuntunnya. Anak-anaknya patuh. Perintah di tunaikan, lalu menyeberang ke pulau seberang. Pergi membawa pesan seorang ibu yang selalu terngiang saat rasa malas dan lelah merajuk. Di perantauan mereka menimba ilmu dengan sungguh-sungguh, serta tahan banting dalam kubangan kesulitan.
"Maja labo dahu anak ee di ngge'e di rasa dou (malu dan takut anakku hidup di kampungnya orang" Pesan seorang ibu yang mulia itu.
Di kampung, sebagai seorang ibu yang melihat cerah masa depan anak-anaknya, mengais rezeki dengan beragam cara. Malam serupa pagi. Menumbuk padi tuan-tuan tanah di kampung merupakan bagi pilihan hanya untuk memastikan anak-anaknya di perantauan tetap mendapat suplai beras.
Sengatan matahari dan hujan membasahi tubuh saat bekerja di ladang orang manjadi makanan sehari-hari. Bersimbah peluh menjadi mandi wajib saat bekerja. Ketika yang lain merasa lelah, dirinya tak pernah berhenti demi untuk mendapatkan lembaran rupiah untuk dikirim ke anaknya di perantauan. Dirinya tidak pernah menyesal mendorong anaknya untuk menimba ilmu hingga ke perguruan tinggi.
Baginya, harta bisa habis, tahta bisa berganti tuan, dan ketenaran pasti terkubur waktu. Tapi ilmu pengetahuan, bisa mendapatkan semuanya. Bahkan jika dimanfaatkan dengan baik untuk kemaslahatan umat, maka bisa mengantarkan orangnya hingga sampai ke jannah. Dengan berilmu seseorang bisa menjadi lilin saat gelap menyelimuti kehidupan. Dengan berilmu dirinya percaya anaknya bisa merajuk masa depan cerah hingga tak berkubang kesulitan seperti yang dialaminya.
Masa-masa pahit itu masih tersimpan rapi dalam benaknya. Baginya membesarkan anak-anaknya dengan susah payah merupakan kenangan yang paling indah sekaligus menyimpan duka lara. Dengan ketiadaan warisan orang tua, dirinya masih mampu membesarkan buah hatinya. Tidak ada tuntutan balas budi, apa lagi mengharapkan semua imbalan dari mereka yang pernah lahir dari rahimnya.
Di pekatnya malam dirinya bersenandung rindu. Melangitkan doa pada yang maha kuasa sebelum saatnya kembali. Suara lirihnya yang hampir tidak terdengar angin, dirinya menyadari bahwa tidak yang kekal di dunia ini. Semua pasti akan pergi bersama waktu. Termasuk kenangan yang selalu dikisahkannya pada hari-harinya yang melelahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H