KALA sapuan mentari di ufuk timur menyapu semesta, beberapa perempuan tampak sudah berada di areal persawahan, Minggu, 19 Desember 2021. Pagi ini mereka akan mencabut bibit padi di tempat persemaiannya. Tampak mereka mengambil posisi sesuai bedeng dimana bibit padi muda terlihat hijau merata.
Beberapa perempuan ini sudah terbiasa menjadi buruh tani. Besar dan hidup menjadi petani merupakan hal yang lumrah dijalaninya dengan berlapang dada. Mereka mendapatkan upah dari hasilnya bekerja, bahkan ada pula yang menggunakan sistem balas budi yang dalam bahasa setempat dengan sebutan weha rima. Ketika yang lain membutuhkan bantuan, maka di waktu yang lain pula akan datang membantu.Sistem ini tidak tertulis, tapi telah berlaku sejak lama. Saling membantu dengan cara seperti ini, akan menghemat bajet atau keuangan yang memiliki pekerjaan. Mereka akan saling memberi bantuan lewat tenaga. Tapi jika terdapat halangan, maka biasanya keringat itu akan dibayar dengan nominal uang yang sudah disepakati.
Pekerjaan mencabut bibit memang khusus dilakukan oleh kaum hawa. Sementara laki-laki hanya akan memindahkan bibit yang sudah dicabut ke petak sawah yang sudah digarap halus dengan menggunakan traktor. Pembagian pekerjaan ini juga sudah berjalan dengan sendirinya antara laki-laki dan perempuan. Sejak lama hingga kini masih berlaku.
Perempuan hebat ini telah bersemai bersama lajunya waktu. Bersimbah peluh demi keluarga dan kebutuhan ekonomi yang menghimpit. Di sawah tidak hanya misi menuntaskan pekerjaan. Tapi juga menjadi ruang sosial dimana mereka berbagi beragam cerita. Ada banyak topik yang diulas lalu tak pernah ada kesimpulan. Cerita itu berantai sembari tangan bergerak cepat mencabut bibit.
Mereka berkubang tanah, sembari melepas hasrat untuk berkisah. Mengurai dengan analisis keibuan yang menyimpan tanda tanya. Serasa ada kepuasaan kala cerita itu diwartakan kepada yang lain. Sesekali tertawa lepas kala cerita itu menggelikan. Mereka serupa infotainment yang mengulas sisi lain seorang artis. Mulai dari hubungan asmara seseorang hingga mengenai menu dapur tetangga menjadi topik yang tak luput dari perbincangan.
Kala ditanya alasannya. Perempuan - perempuan ini dengan antusias menjawab, bahwa cerita yang disampaikan hanya lah cara agar rasa lelah dapat ditepikan. Hanya sebagai penghibur diri. Ibaratnya menyelam sambil minum air. Sambil bekerja, bisa juga melepas cerita kepada yang lain. Karena hanya dengan begitu segala yang dipendam akan bisa tersalurkan walau pun harus menceritakan tentang aib orang lain. Namun demikian perempuan hebat ini telah mampu menjadi inspirasi bagi generasi akan ketabahannya dalam menjalani kehidupan. Baik sebagai ibu bagi anak-anaknya juga sebagai istri bagi suaminya di rumah.
Menahan teriknya matahari, basah-basahan dengan air yang berkeruh adalah bukti nyata atas kerja keras yang ditunjukkan perempuan hebat ini. Mereka menjadi inspirasi di antara keengganan banyak generasi yang tidak mau turun lagi ke sawah. Yang mereka lakukan serupa mementaskan kepada khalayak ramai bahwa perempuan di desa adalah mereka yang memberi hidup bagi masyarakat perkotaan dengan hasil pertanian yang mereka hasilkan.
Tidak perlu ragu atas dedikasi perempuan hebat ini kepada negeri. Memang tidak secara langsung, tapi dari keringat mereka bertani menjadi penyokong bagi keberlangsungan pangan bagi masyarakat lain. Kadang apa yang mereka rasakan tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan. Tapi mereka tidak mengeluh apa lagi mengalah pada keadaan. Bertubi ujian berlaksa-laksa menghantam, tapi tak cukup membuat mereka menyerah pada keadaan. Semakin dibenturkan, malah semakin kuat dan membentuk.
Itulah kisah hebat perempuan - perempuan tani yang menenun kisah lewat persemaian padi. Mereka serupa mentari yang memberi hangat kehidupan untuk terus memberi arti pada setiap inci peristiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H