Lihat ke Halaman Asli

Suradin

Penulis Dompu Selatan

Pejuang Mahar, Bukan Jual Mahal

Diperbarui: 29 September 2021   11:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri. Suradin

MEREKA masih muda, tapi sudah bersimbah peluh di bawah terik matahari menyengat kulit. Terhempas angin kedinginan, tergores kulit karena gesekan batu dan potongan kayu. Baju yang dikenakan bisa berhari-hari hanya untuk membungkus kulit yang mulai kecoklatan. Mereka tahu perjuangan mengumpulkan pundi-pundi rupiah tidaklah mudah. Dibutuhkan kerja keras serta menepikan segala tantangan yang menghadang. Termasuk membunuh perasaan gengsi sebagai seorang pemuda.

Saya bertemu anak-anak muda ini kala menikmati sore di hamparan ladang warga dusun Nanga Doro. Kampung paling ujung selatan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Dalam gersangnya ladang dengan batu-batu menukil di permukaan tanah, mereka sedang menjemput sesuatu. Mereka mengenakan celana pendek, sepatu bot, dan baju yang bersimbah peluh.

Salah seorang meminta saya untuk mendokumentasikannya. Mereka berdiri ala boy band Korea, walaupun parasnya tidak mirip warga negeri ginsen itu.

Saya merogoh handphone di dalam kantong lalu mengarahkan camera handphone kepada mereka yang sedang berdiri dengan membelakangi gugusan gunung yang menjulang tinggi.

"Masukan kita di media bang" Ucap salah seorang di antara mereka, Selasa, 28 September 2021. Entah kapan mereka tahu saya aktif di media. Saya tidak sempat menanyakannya.

Dokpri. Suradin

Di belantara hutan mereka menginap. Tidur, lalu merangkai mimpi ditengah kebersamaan untuk mengerjakan sesuatu. Mereka akan berhari-hari di dalam hutan. Meninggalkan keluarga demi lembaran rupiah yang bisa di bawah pulang. Mereka mempertaruhkan selembar nyawa, mengakrabi dinginnya malam, dan menepikan ketakutan.

Ketika anak muda seusia mereka berpikir untuk mendapatkan gebetan baru, handphone baru, bahkan motor baru dengan cara merengek kepada orang tua. Justru anak-anak muda ini, rela untuk tidak menikmati kemewahan duniawi yang di dapat dengan cara instan. Mereka menempa diri dalam balutan pekerjaan yang menguras energi dan emosi. 

Mereka menyadari, bahwa pekerjaan yang mereka pilih mengandung resiko yang tidak ringan. Tapi rasa ke khawatiran itu dihempasnya demi memastikan modal untuk menikah bisa segera terpenuhi.

"Kita pejuang mahar, bukan jual mahal bang" Ucap seorang di suatu hari.

Saya sempat tersenyum siput mendengar itu. Ternyata di antara mereka belum ada yang memiliki pasangan hidup. Mereka berseloroh, di antara mereka pasti akan ada yang menikah tahun ini. Nanti dengan upah yang mereka dapatkan, bisa di tabung sebagai modal untuk melamar pujaan hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline