LANGIT sore kota Mataram tidak secerah biasanya ketika roda dua yang saya kendarai membelah jalanan kota. Sapuan mentari sore bukan enggang menyapa semesta. Awan tebal yang egois tak bersedia bergeser untuk memberi celah pada mentari sore agar bisa menyapa semesta. Sedangkan beberapa jam ke depan malam masih setia menunggu berakhirnya hari.
Di perbatasan kota, saya melaju cukup pelan. Luasnya persawahan dengan tanaman padi yang menghijau menyambut saya di Labu Api, Lombok Barat, Jumat, 20 November 2020.
Angin sepoi sesekali menyapa.Siul burung yang hinggap di ranting pematang sawah menambah ademnya perjalanan. Rindangnya pepohonan yang berdiri angkuh di pinggir jalan melengkapi keindahan yang semesta suguhkan di sore ini.
Saya sedang mengunjungi kediaman seorang sahabat lama, setelah janjian satu hari sebelumnya. Di sore ini, dirinya memberi kabar bahwa memiliki waktu luang untuk berbincang dengan saya di kediamannya. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berjumpa denganNya.
Pasalnya, selain karena di sibukkan dengan menemani putri pertamanya, ia juga seorang dosen di salah satu kampus swasta di kota Mataram. Bisa dibayangkan bagaimana dia harus mengatur waktunya yang begitu padat.
Dia punya banyak panggilan. Ada yang memanggilnya Isnaini, Bung Is, dan bahkan ada pula yang menyapanya dengan sebutan bang Reza. Semua panggilan itu tidak pernah dirinya keberatan. Apa lagi protes hingga bakar ban di jalan dengan mega phone di tangan.
Saya tidak pernah melihat dirinya marah hanya karena tidak dipanggil lengkap dengan gelar akademiknya. Walaupun sudah bersahabat lama, saya bahkan tidak pernah bertanya mengapa dirinya punya banyak panggilan seperti itu.
Bahkan hingga sekarang, dirinya masih cukup nyaman dengan semua panggilan tersebut. Saya sering berdiskusi dengannya di banyak kesempatan. Tapi sudah lama tidak kami lakukan lagi.
Kami sudah lama tidak duduk berdiskusi sambil menyeruput kopi. Sejak masing-masing di antara kami memutuskan berkeluarga beberapa tahun yang lalu. Dan sejak saat itu, cukup berpengaruh dengan intensitas pertemuan yang biasa kami sering agendakan.
Sangat berbeda ketika masih berstatus bujang beberapa tahun silam. Bahkan cukup sering kami menghabiskan malam hanya karena duduk berdiskusi dengan beragam topik. Tapi kini, situasinya sudah berbeda. Kendati demikian, kami tetap merawat persahabatan dengan sesekali janjian untuk bertemu. Seperti yang kami lakukan saat ini.
Dari sekian panggilan yang dialamatkan kepadanya, saya lebih nyaman menyapanya dengan panggilan Bang Reza. Bukan karena teringat Reza mantan personil band Noah. Tapi, saya merasa nyaman memanggilnya dengan sebutan itu. Sekali lagi dirinya tidak pernah protes, apa lagi marah-marah sampai membanting kulkas hanya karena di panggil bang Reza.