TIDAK pernah terlintas dibenak ketika menjadi mahasiswa, saya bisa melalang buana di beberapa daerah di Indonesia. Di awal menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Makassar, pikiran saya hanya belajar dan belajar. Setelah itu menuntaskan kuliah. Wisuda. Kemudian pulang kampung.
Dunia mahasiswa adalah dunia di luar imajinasi sebelum saya di terima menjadi salah satu penghuni kampus ayam jantan dari timur. Saya orang desa yang datang ke kota dengan tidak memiliki modal pengalaman sedikit pun tentang kehidupan perkotaan. Sehingga, di awal kuliah, saya merasa kikuk, pemalu, canggung serta minder menghadapi pergaulan yang jauh berbeda dengan kehidupan ketika masih di kampung.
Perlahan tapi pasti. Seperti ungkapan orang bijak, jika ingin diterima di suatu tempat maka pandai lah beradaptasi. Saya mencoba membangun pertemanan yang baik dengan semua orang, walaupun usaha itu tak sepenuhnya berhasil. Sebab, di kampus, senioritas sangat dijunjung tinggi, sehingga di awal kuliah tidak mudah mengakrabkan diri dengan para senior. Namun, beruntung saya banyak teman satu kelas yang menjadi sahabat baik hingga kami benar-benar berakhir ketika selebar ijazah memisahkan persahabatan.
Ketika beranjak semester empat, saya mulai aktif berorganisasi. Walaupun awalnya saya hanya ingin menuntaskan perkuliahan secepatnya sesuai pesan orang tua, kemudian setelah itu kembali ke kampung dan mendapatkan pekerjaan. Tapi, pikiran saya berubah setelah menyaksikan banyak senior dan teman-teman saya yang begitu mantap ketika berbicara di depan orang banyak.
Mereka cekatan dalam mengurus administrasi, memimpin rapat, orasi di depan rektorat, wali kota dan kantor gubernur. Bahkan mereka punya nyali sekeras baja ketika berhadapan dengan aparat kepolisian saat melakukan demonstrasi. Dalam pengamatan, hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang berorganisasi.
Di lembaran lain, hal itu saya melihat-nya harus dibayar mahal dengan upaya membagi waktu antara kuliah dengan aktif berlembaga. Kadang mereka tidur di sekretariat hanya beralaskan tikar, makan se-ala kadarnya, itu pun satu bungkus nasi bisa di makan bersama-sama dengan yang lain. Bahkan ketika rapat pun, bisa hingga larut malam dengan segala benturan argumentasi dan logika yang diusung. Rapat-rapat yang dilakukan para penghuni kampus ini, nampaknya mampu mengalahkan rapat anggota DPR di senayan sana yang digaji dengan uang rakyat.
Ketika memutuskan nimbrung dengan senior dan teman-teman di dunia keorganisasian, saya merasakan suasana kekeluargaan yang cukup solid. Saya mencoba menempa diri dalam suasana yang tidak 'nyaman'. Kadang pulang, kadang jarang kembali ke kos-kosan, demi untuk menuntaskan misi lembaga.
Ketika 2010 silam, sepulang dari pulau Lombok dalam suatu kegiatan kelembagaan, dimana saya menjadi ketua umumnya. Saya pun diutus oleh Balai Kajian Sejarah Kota Makassar untuk mengikuti kegiatan Kesejarahan di kota Medan. Ketika mendengar informasi itu, hati saya begitu gembira dibuat-nya.
Dimana saya bisa naik pesawat untuk pertama kalinya dalam hidup. Sebab, semasa di kampung, saya hanya bisa memanggil pesawat dari tanah lapang bersama teman-teman sepermainan ketika pesawat melintas di udara perkampungan. Tapi, kini saya akhirnya bisa mengudara dengan menuju tempat terjauh dari kampung saya di Dompu Nusa Tenggara Barat sana.
Ketika hari itu tiba, saya diantar oleh seorang sahabat terbaik saya bernama Fitra di bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Waktu memasuki bandara, hati saya tidak karuan, jantung dag-dig-dug, pikiran tak menentu karena tidak tahu bagaimana prosedur untuk menuju badan pesawat. Maklum orang kampung.
Saat pesawat lepas landas, jantung terasa copot. Mesin besar mengudara begitu apik, membelah awan, melintasi udara, menyapa langit dan kemudian mengudara dengan tenang. Sampai-sampai leher saya terasa sakit, karena selama mengudara, pandangan saya tertuju di luar jendela pesawat untuk menyaksikan indahnya negeri yang di sebut Indonesia ini. Dari atas, rumah terlihat kecil, sungai seperti ular sedang merayap, pulau terlihat jelas karena cuaca sangat bersahabat.