Lihat ke Halaman Asli

Suradin

Penulis Dompu Selatan

Gunung, Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini

Diperbarui: 2 Juli 2020   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri. Gunung di Desa Tenga, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu

KETIKA adzan subuh terdengar dari arah masjid yang tak jauh dari rumah, masih terdengar jelas kokok ayam berkejaran dengan panggilan marbut untuk menunaikan kewajiban menghadap ilahi. Kemudian setelah terang tanah, kami yang masih berstatus pelajar, biasanya berbondong-bondong menuju sungai dekat kampung untuk mandi. 

Dengan menapaki gang kampung, kemudian menyusuri jalan raya yang sudah diaspal hingga bertemu dengan teman-teman, dari kampung sebelah di pinggir sungai.

Sesampainya di sungai, ada yang langsung mandi, ada pula yang masih menyelimuti diri dengan sarung. Air sungai masih jernih, mengalir, udara dingin terasa di kulit dan dibeberapa titik tergenang cukup dalam. 

Sehingga kami bisa loncat sambil teriak dari arah tebing. Kadang kami mandi tidak menggunakan sabun, yang penting basah. Dua tiga kali loncat dan menyelam, langsung keluar dan pulang ke rumah. 

Di kedalaman air, kami bisa mencari ikan, udang bahkan kepiting di sela-sela bebatuan. Air jernih yang turun dari arah gunung yang kami nikmati karena alamnya masih perawan dan belum terjamah oleh tangan-tangan manusia. Rimbunan pohon yang bertengger di gunung, menghadirkan udara yang segar dan bersih bagi penghuni kampung.

Dokpri. Sungai Doro Adu, Dusun Ruhu Rumah, Desa Rasabou, Dompu

Ketika mentari pagi tertahan oleh awan untuk menyapa semesta, kadang kami agak malas-malasan untuk bergegas menuju sekolah lebih awal. Seperti embun pagi yang enggang enyah dari persemaian dedaunan. Ia begitu betah untuk bersantai, sehingga menghadirkan kesejukan aroma semesta.

Di kampung kami sebelum mentari meninggi, udaranya masih sangat dingin, rimbunan pohon di gunung menghijau memanjakan mata. Di kala pagi menyapa, pemandangan menyapu gugusan pegunungan yang bergelombang di timur perkampungan. Sawah menghijau, air mengalir di pematang sawah, begitu lancar, sambil sesekali kodok bergembira ria di antara rimbunnya reremputan.

Ketika menaiki dokar menuju sekolah, di salah satu desa tetangga yang  biasa kami lewati, udaranya sangat dingin.
Bahkan kulit kami tak mampu berkompromi dengan udara sekitar, karena kami hanya mengenakan seragam sekolah yang tidak terlalu tebal. 

Bahkan melewati daerah itu, kami masih bisa mendengar nyanyian ayam gunung dari arah hutan. Suaranya cukup menggema menyapa semesta. 

Gunung yang asri dengan pohonnya yang masih terawat, menjadi rumah yang nyaman bagi ayam gunung dan jenis spesies lainnya. Mereka hidup harmonis dengan alam, walaupun sesekali diburu oleh warga sekitar untuk dijual di pasar.

Itu dulu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Gunung-gunung yang asri yang menakjubkan mata karena jutaan pohon belum tergerus oleh kerakusan tangan manusia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline