TULISAN ini, saya ingin berkisah tentang pengalaman selama 2 minggu di kampung. Setelah merantau sekian tahun saya memutuskan untuk menepi di kampung halaman agar terhindar dari cengkraman Covid-19.
Sebagai pribadi yang suka mewartakan berbagai peristiwa di media sosial. Keluar masuk kantor, seperti camat, dan kantor desa, adalah sesuatu yang biasa.
Selain itu, untuk memahami dan mengerti tentang kehidupan masyarakat proletar, saya terbiasa duduk dengan nelayan, petani dan masyarakat di tingkat grestrod
Selama dua minggu, saya mencoba memahami setelah mempelajari interaksi dengan para pejabat yang mengenakan baju keki, dengan mereka yang bergelut dengan pertanian, laut dan profesi lainnya.
Ada nuansa yang berbeda ketika masuk ke kantor yang dihuni oleh mereka-mereka yang yang mengenakan baju seragam, dengan mereka yang sedang menunggu penumpang, atau mereka yang sedang memperbaiki jaring di pinggir laut.
Beberapa kali saya masuk ke sebuah kantor dengan penampilan biasa, layaknya masyarakat pada umumnya. Saya dipandang biasa-biasa saja, tidak ada pelayanan prima di sana, tidak ada tegur sapa, dan bahkan tidak ada senyum sambutan yang bisa menyenangkan hati.
Memang di sana, saya buka siapa-siapa, bukan anak pejabat, bukan pula anak menteri, apa lagi anak seorang pejabat tinggi yang harus dikalungi bunga ketika turun dari mobil sebelum memasuki sebuah kantor pemerintahan.
Saya pun tidak pernah mengharapkan pelayanan yang lebih, karena saya sadar, saya hanyalah rakyat biasa yang hanya butuh tanggapan, solusi serta saran yang bijak dari mereka yang digaji dari uang rakyat.
Bukankankah mereka digaji untuk itu, yakni diberikan tugas oleh negara, agar urusan-urusan rakyat bisa terlayani dengan baik. Bisakah rakyat bertanya tentang kualitas mereka, dalam proses melayani. Atau jangan-jangan mereka tidak pernah belajar tentang bagaimana cara untuk melayani publik.
Bisa jadi mereka yang bekerja di kantor-kantor itu, hanya titipan seseorang yang punya nama, atau jangan-jangan mereka direkrut hanya dukungan politik semata. Sehingga kualitas tidaklah menjadi pertimbangan untuk suatu jabatan.
Yang penting mereka mengaminkan yang diinginkan oleh tuannya. Tidak perduli tuannya berkata dan bersikap seperti apa, yang penting potongan kue kekuasaan bisa ia cicipi.