Lihat ke Halaman Asli

Suradin

Penulis Dompu Selatan

Banjir di Kampung, Bukan Banjir di Ibu Kota

Diperbarui: 4 April 2020   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BAGI sebagian wilayah di tanah air, banjir merupakan bencana. Terlebih bagi wilayah DKI Jakarta, berjebung di soroti media ketika ibu kota negara ini, terkena banjir. Negara berduka, media tak berkedip, pikiran anak negeri akan tersedot untuk menyelesaikan urusan ibu kota ini setiap tahunnya. 

Para pengamat mengeluarkan analisisnya masing-masing, mulai dari pengamat yang mumpuni sampai pengamat musiman. Mereka berdebat, menyalahkan dan bahkan menghujat kepemimpinan yang sedang berkuasa. Mencari kambing hitam, walaupun banyak kambing putih, dan di kubu yang lain memasang badan untuk sebuah kekuasaan agar nama tuan tetap terhormat. 

Banjir Ibu kota berbeda dengan banjir di pedesaan. Di kampung saya, di Dusun Kuta, Desa Rasabou, Kecamatan Hu'u Kabupaten Dompu, banjir dipandang banyak membawa berkah dibandingkan di anggap sebuah musibah. 

Di kampung tidak perlu ada satgas untuk menangani banjir, tidak ada pasukan orange, tidak ada media yang sibuk mewartakan dan tidak ada politisi yang saling menghujat. 

Di kampung, banjir merupakan anugrah bagi petani, walaupun pernah menjadi bencana. Lahan akan haus, tanah retak, tumbuh-tumbahan akan menengada, jika hujan dan banjir enggang menyapa. 

Tidak ada rerumputan menghijau, padi menguning, kicaun burung bersahutan, kodok bernyanyi malam hari, dan tak ada punggawa pengatur air, yang sibuk di pematang sawah. 

Semua rindu, berharap, menengadahkan tangan kepada ilahi kala semua panik jika semesta kehausan. Air menjadi salah satu kenichayaan dalam esensi kehidupan, seperti ungkapan Heraklitus seorang filsuf Yunani. 

Kali ini di kampung saya, banjir datang begitu deras dan besar. Menghamtam apa saja yang dilewatinya, kayu serta sampah terbawa serta dari hulu sampai hilir. 

Dari jembatan kampung, saya bisa menyaksikan bagaimana derasnya banjir dengan airnya yang kecoklatan. Begitu deras, gegesekan batu terdengar jelas di atas jembatan. Tidak ada kepanikan, bahkan tak ada teriakan ketakutan dari warga, kala banjir menerjang dengan sangat hebatnya. 

Bahkan kedatangan banjir menjadi pemandangan yang menakjubkan bagi kaum la muda yang sedang duduk menikmati sore di atas jembatan. Mereka memarkirkan motornya di pinggir jalan, menyaksikan banjir di atas jembatan, dan memetik gitar sambil bernyanyi lagu cinta. 

Dokpri. Banjir dekat pemukiman warga

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline