Lihat ke Halaman Asli

supysup

profesi sebagai sraf pengajar

Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Diperbarui: 21 Desember 2024   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kesalahan paling mendasar pada pendidikan dalam lingkungan keluarga adalah kurangnya apresiatif dari segala pihak, khususnya orangtua siswa terhadap penanaman nilai-nilai baik, terutama nilai kepemimpinan.

Kepemimpinan adalah faktor yang tidak bisa dipisahkan dari organisasi. Keluarga merupakan organisasi terkecil dan terdekat yang anak-anak temui setiap hari. Jika keluarga menjadi organisasi informal, maka sekolah adalah organisasi atau institusi formal. Pemimpin di keluarga adalah ayah sebagai kepala keluarga, dibantu ibu sebagai manajer rumah tangga. Kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu akan menjadi sinergi pembelajaran yang berharga buat anak.

Permasalahan di sekolah yang paling utama adalah berganti-gantinya kurikulum. Kurikulum adalah tiang penopang dari semua kegiatan belajar mengajar di sekolah. Jika hasil belajar tidak bagus, maka pemerintah serta merta mengganti kurikulumnya. Perubahan kurikulum menyebabkan kepala sekolah dan guru-guru sibuk membenahi perangkat pembelajaran, belajar membuat perangkat pembelajaran bersdasarkan kurikulum terkini, dan lain-lain yang bersifat administratif. Bukannya tidak penting, justru itu semua memang wajib dibenahi sebelum guru terjun mengajar peserta didik.

Sekolah yang memiliki budaya organisasi umumnya menjunjung tinggi nilai-nilai hidup yang baik. Dengan demikian, sekolah secara langsung maupun tidak langsung akan dapat memperkenalkan dan mengajarkan kepada peserta didiknya niali-nilai baik tersebut. Sekolah yang memiliki budaya organisasi yang kondusif sedikit banyaknya akan membentuk mental pemimpin dalam diri peserta didiknya.

Persaingan dunia kerja membuat kita mengerti bahwa pelajaran hidup sesungguhnya ada di luar sana, bukan sekedar teori atau analisa semata. Dunia kerja tidak hanya menuntut kepandaian otak semata-mata. Belakangan ini bahkan pihak perusahaan lebih membutuhkan orang-orang yang kreatif, ketimbang pintar saja. Hal itu disebabkan karena orang-orang yang berpikiran kreatif cenderung lebih mampu bertahan di dalam kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan. Dalam kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan, pikiran-pikiran kreatif justru akan memunculkan ide-ide baru yang belum tentu terpikirkan oleh orang lain. Negara Jepang adalah contoh mudahnya. Negara yang 80% wilayahnya merupakan gunung berapi, sehingga mengakibatkan wilayahnya rawan gempa dan tsunami, tidak mengakibatkan bangsanya bermental ciut dan mudah putus asa (Azhari, 2011). Sebaliknya, kondisi yang kritis itu menjadikan warganya kreatif dan pekerja keras. Mereka sadar bahwa setiap saat gempa besar bisa terjadi, sehingga tidak ada alasan buat mereka untuk bermalas-malasan. Lucunya, di negara ini gelar seolah menjadi legitimasi yang dapat menunjukkan bahwa seseorang itu pintar dan berhak menduduki jabatan bergengsi di suatu perusahaan.

Penulis : Mahsup (Mahasiswa Pascasarjana Undiksha)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline