Masalah kekuasaan sangat menarik terutama dalam Masyarakat modern. Boleh dikatakan seluruh aspek kehidupan manusia diliputi oleh pegaruh kekuasaan. Dalam kehidupan sehari-hari kita diatur oleh berbagai jenis kekuasaan, seperti kekuasaan meliter, kekuasaan ekonomi, kekuasaan politik dan macam-macam kekuasaan lainnya. Di antara berbagaai jenis kekuasaan itu biasanya kekuasaan politik dianggap sangat menonjol dalam kehidupan manusia modern. Tetapi kekuasaan politik hanyalah merupakan sebagian dari apa yang disebut kekuasaan sosial (social power). Seorang pakar sosiologi, Gianfranco Poggi membedakan kekuasaan sosial menjadi tiga jenis, yaitu: 1) kekuasaan politik, 2) kekuasaan ekonomi, dan 3) kekuasaan normatif atau ideologi.
Dalam masyarakat modern pendidikan bukan lagi urusan keluarga, pendidikan telah menjadi rebutan partai-partai politik, serta menjadi perdebatan para akademisi yang peduli terhadap kemajuan pendidikan suatu bangsa. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu. Pemberian kekuasaan ini atau empowermentmerupakan ciri dari pendidikan transformatif. Proses individualisasi hanya terjadi melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat berbudaya. Kekuasaan dalam pendidikan bersifat kekuasaan yang transformatif. Tujuan ialah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif bahkan membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut menimbulkan aksi.
Setidaknya ada empat masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan, yaitu: (1) Domestifikasi dan stupidifikasi. Proses domestifikasi dalam pendidikan dapat dilihat pada bagaimana sekolah, peserta didik, dan para guru harus dijalankan proses pendidikan sesuai petunjuk-petunjuk, baik yang digariskan oleh penguasa ataupun petunjuk-petunjuk yang dibuat oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Baik guru maupun peserta didik mengikuti berbagai peraturan yang telah dirumuskan, mempelajari bahan pelajaran buku teks yang tersedia, jenjang pendidikan yang telah ditentukan, dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. (2) Indoktrinasi. Proses pendidikan mengenal kekuasaan dalam pengertian yang berorientasi kepada advokasi dan kekuasaan yang beroeirntasi kepada legitimasi. Kurikulum yang berlaku pada suatu sekolah sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan.
Semua aspek kurikulum sudah diatur begitu rupa sesuai dengan proses domestifikasi yang telah dijelaskan di atas. Maka yang terjadi dalam proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses menstransmisikan ilmu pengetahuan secara paksa. Pengetahuan (knowledge) dapat dipandang sebagai suatu capital. (3) Demokrasi dalam Pendidikan. Melalui demokrasi malahirkan adanya kemungkinan-kemungkinan yang terbuka yang dihadapi kepada seseorang. Inilah yang disebut situasi-situasi problematis. Sumber kekuasaan tersebut dapat berupa petunjuk pemerintah melalui kurikulum yang telah disiapkan dan dilaksanakan oleh para pendidik sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang telah terinci. Isi kurikulum ternyata ditentukan oleh perspektif dari mana seseorang memandang proses pendidikan. Dengan kata lain, kurikulum disusun berdasarkan perspektif tertentu. Perspektif ilmu pengetahuan manusia yang berbeda-beda akan menghasilkan ilmu yang berbeda-beda pula. Penyusunan kurikulum kita di dewasa ini masih berpusat pada kekuasaan yang dipegang oleh negara dengan menentukan standar-standar atau benchmarking dari proses pendidikan. (4) Integrasi sosial. Integritas sosial ternyata tidak dapat diciptakan dengan pemaksaan melalui kekuasaan dari atas. Desentralisasi dan otonomi pemerintahan, baik pusat maupun daerah memiliki peran penting dalam pendidikan dan kebudayaan. Suatu sistem pendidikan yang uniform dan otoriter akan mematikan kemampuan untuk mengembangkan budaya lokal yang merupakan batu bata penyusunan budaya nasional. Pendekatan multikultural merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia dengan masyarakat yang pluralistik dalam mengembangkan pendidikan dan kebudayaan.
Partai-partai politik menjadikan pendidikan sebagai program yang utama atau sebagai iming-iming utama untuk membujuk rakyat di dalam pemilihan umum atau sebagai sarana untuk melestarikan kekuasaan atau jabatan. Semua itu menunjukkan betapa pendidikan telah beralih dari domain personal ke domain publik. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas betapa pendidikan telah dijadikan kebijakan utama untuk kemajuan suatu bangsa.Hampir semua negara maju, ketika masih pada tahap seperti negara-negara berkembang dewasa ini, mempunyai misi yang jauh ke depan, mereka melihat peran pendidikan di dalam memantapkan kehidupan politiknya sejalan dengan perbaikan kehidupan ekonominya.
Penulis : Mahsup (Mahasiswa Pascasarjana Undiksha)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H