Dua tahun lalu, tepatnya pada bulan mei 2010, saya melakukan perjalanan menuju Guangzou China, perjalanan yang berawal dari rasa penasaran akan cerita orang bahwa di sana banyak terdapat produk elektronik dan produk-produk lain yang harganya super miring, dilandasi rasa penasaran tersebut tak tahan diri ini untuk segera membuktikan apa yang menjadi perbincangan orang-orang dengan mengunjungi negeri komunis tersebut. Berangkat dari Jakarta sekitar pukul 06.00 WIB. menggunakan pesawat Batavia Air, tiba di Bandara Internasional Baiyun sekitat pukul 12.00 waktu setempat atau 11.00 WIB. (perbedaan waktu satu jam lebih cepat dari jakarta). Keluar dari bandara udara dingin langsung menyambut, tanpa banyak berfikir saya langsung menuju area taksi dan disambut seorang wanita muda dengan bahasa inggris yang agak belepotan dia menawarkan jasa taksi menuju kota Guangzou yang berjarak 30 - 45 menit perjalanan, dengan kesepakatan tarif 200 yuan (sekitar Rp 320.000,- dengan nilai tukar Rp 1.600,-/yuan), dengan penuh percaya diri saya menaiki taksi tersebut. Dalam perjalanan menuju kota Guangzou, saya bertanya kepada supir taksi tersebut mengenai hotel yang saya tuju, celakanya supir taksi tersebut ternyata tidak bisa berbahasa inggris dan lebih celakanya lagi hotel yang saya tuju tersebut saya tulis dengan tulisan latin, dimana supir taksi tersebut tidak bisa membaca tulisan latin, hufff....!!!. syukurnya setelah berkali-kali saya tunjukkan tulisan latin yang bertuliskan East Asia Hotel saya tunjukkan sang supir taksi tersebut menganggukkan kepalanya seakan mengerti dengan apa yang saya maksudkan. Sepanjang jalan terutama mendekati kota Guangzou berjejer bangunan yang menjulan tinggi tak ubahnya hutan belantara yang terbuat dari beton, jalanan yang lebar dan tampak rapi, lalu lintas yang ramai tapi tidak nampak kemacetan, trotoar jalan yang sangat lebar di penuhi pejalan kaki, tampak pula beberapa pedagang kaki lima yang tampak rapi walupun menjajakan dagangannya di tepi trotoar, dan beberapa pemandangan lain yang begitu menarik untuk diperhatikan. Terdengar celoteh supir taksi dengan bahasa yang tidak saya mengerti (bahasa mandarin) sembari menepikan taksinya di depan sebuah hotel, lalu dia menunjuk tulisan "Asia Hotel" yang tertulis tepat di depan hotel tersebut, mengingat hotel tersebut bukan hotel yang saya tuju saya pun kembali menunjukkan tulisan "East Asia Hotel" kepada supir taksi tersebut. Perdebatan saya dengan supir tersebut tidak menuju pada titik temu, saya pun memutuskan untuk turun dari taksi tersebut dan menuju hotel tersebut. Setibanya di lobi hotel Asia saya menemui resepsionis hotel yang kebetulan fasih berbahasa inggris, dengan sedikit basa-basi saya meminta tolong kepada resepsionis hotel tersebut untuk menyalin alamat-alamat yang saya tuju dalam tulisan mandarin, Alhamdulillah dengan sopan resepsionis tersebut menolak dengan halus permintaan saya tersebut, dengan sedikit kesal saya keluar dari lobi hotel berjalan mengitari daerah sekitar hotel tersebut sembari bertanya kepada orang yang lewat kalau-kalau ada yang bisa berbahasa inggris, sesekali saya memberhentikan taksi sembari mununjukkan tulisan hotel yang saya tuju dan teryata tak satupun dari taksi yang saya hentikan mengerti dengan bahasa inggris dan tulisan latin. Hampir dua jam berlalu akhirnya saya memutuskan untuk merubah strategi bertanya dengan menunjukkan gambar handphone dengan sedikit bahasa isyarat yang menunjukkan kalau saya ingin membeli handphone dan saya menuju tempat penjualan hanphone tersebut, karena dari browsing yang saya cari di internet hotel East Asia itu berada di Nan Fang Da Sha street dekat dengan pusat penjualan handphone. Akhirnya setelah sekian taksi yang saya hentikan ada juga yang menggangukan kepala seakan mengerti dengan apa yang saya maksud. Dengan perasaan lega dan sedikit was-was saya menaiki taksi menuju pusat penjualan hanphone.
Lima belas menit perjalanan, tibalah taksi tersebut di depan sebuah pusat penjualan handphone, segara saya turun dari taksi dan membayar 10 yuan sesuai tarif yang tercantum dalam argo taksi tersebut. Tidak berapa lama berjalan kaki memutari kawasan yang sekelilingnya hanya ada gedung-gedung yang didalamnya sebagian besar diisi oleh konter-konter penjual handphone dan accesoriesnya, saya akhirnya menemukan hotel "Nan Fang Da Sha", meskipun bukan hotel yang saya tuju namun hotel tersebut berada di sekitar pusat penjualan handphone, sehingga saya tidak perlu jauh-jauh bila ingin melihat-lihat produk handphone yang murah dan bisa dijadikan oleh-oleh bila kembali ke Indonesia.
Jam tiga sore waktu setempat saya akhirnya cek-in di Nan Fang Da Sha, dengan tarif 125 yuan per malam, tarif yang sangat murah jika dibandingkan dengan tarif hotel yang sekelas di Indonesia, setelah menaruh barang bawaan ke dalam kamar segera saya menghangatkan tubuh dengan mandi air panas mengingat semakin sore udara semakin dingin, selesai mandi dengan air hangat dan bersalin, saya merebahkan diri di ranjang tidur yang sangat dingin bahkan saat saya menyelimuti diri ternyata selimutnya tidak kalah dingin dengan ranjang tidur tersebut.
Menjelang malam, tepatnya sekitar jam 6.30 waktu setempat saya berjalan di sekitar hotel untuk membeli jaket tebal bermerk yang tentunya KW karena dengan harga 65 yuan saya bisa memiliki jaket tersebut, setelah mengenakan jaket yang baru saya beli tersebut saya berkeliling di sekitar hotel, ternyata di seberang hotel tersebut terdapat sungai besar yang kalau tidak salah bernama "Pearl River", sungai besar dengan beberapa jembatan besar yang berhiaskan lampu warna-warni, perahu naga tampak berseliweran di sungai yang nampaknya menjadi salah satu wisata andalan di sini, tampak di pinggir sungai yang tertata rapi dengan jarak sekitar dua puluh meter dari jalan raya, beberapa kelompok anak muda asik bermain sepeda, sebagian kelompok bermain skateboard, beberapa lagi asik bercengkrama di pinggir sungai, beberapa orang tua beserta anaknya, beberapa wisatawan yang tampaknya sebagian besar dari timur tengah jika dilihat dari wajahnya juga nampak disitu, serta beberapa orang eropa asik menikmati suasana pinggiran sungai tersebut.
Terlena dengan suasana kota Guangzou sampai saya lupa kalau saya belum makan dari malam, untuk urusan makan nampaknya saya tidak begitu risau karena di Guangzou terlebih di malam hari banyak pedagang kaki lima yang menjajakan kue kebab dengan sate domba yang sebagian besar pedagannya berparas timur tengah dan muslim tentunya, selain itu untuk urusan harga cukup terjangkau, sepuluh tusuk sate dengan ditambah selembar kue kebab hanya berharga 10 yuan, sembari menyantap makanan di pinggir sungai saya menikmati alunan musik dari seorang pengamen yang berdiri tengah trotoar dengan dikelilingi orang-orang yang menikmati lagu yang dilantunkannya, tentu hal itu berbeda dengan di Indonesia, dimana pengamen lebih cenderung sebagai pengganggu ketimbang penghibur. Selesai menyantap makan malam saya kembali ke hotel untuk beristirahat.