Lihat ke Halaman Asli

Profiteering

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencari keuntungan adalah tujuan setiap perusahaan. Tetapi mencari untung tidak boleh dengan menghalalkan segala cara. Keuntungan yang halal adalah keuntungan yang diperoleh dengan berdagang yang adil, jujur, transparan, dan akuntabel. Memang kita masih menemukan sejumlah perusahaan yang memagang prinsip bahwa bisnis ‘yang baik’ adalah bisnis yang memberikan banyak untung. Karena semata-mata mengejar keuntungan (profiteering),perusahaan seringkali bertindak tidak etis. Mengejar untung besar biasanya dilakukan dengan menekan biaya produksi atau memanipulasi proses pemasaran dan penjualan produk. Agar biaya produksi murah, ada perusahaan yang menggunakan tenaga kerja anak-anak, memberlakukan jam kerja panjang dan gaji rendah, atau sistem kerja kontrak untuk menghindari tunjangan dan pesangon. Demikian pula, untuk meningkatkan keuntungan penjualan, sejumlah perusahaan menerapkan cara-cara promosi yang tidak jujur. Ada toko yang menggunakan strategi ‘bait and switch’ yaitu merangsang calon pembeli dengan produk murah, yang sebenarnya tidak tersedia, dan mendorong calon konsumen membeli produk lain dengan harga lebih tinggi. Sejumlah ‘content provider’ telepon seluler menjebak konsumen dengan sistem sedot pulsa otomatis, yang merampas pulsa konsumen tanpa bisa menghentikannya.

Sebenarnya perilaku tidak etis juga sangat dekat dengan lingkungan kita. Kita sering ‘dipaksa’ membeli permen sebagai ganti uang kembalian saat kita berbelanja di toko. Saat kita membeli bensin, petugas SPBU seringkali ‘merampok’ selisih harga pembelian. Dengan alasan pembulatan, sejumlah rumah sakit memaksa kita ‘mengikhlaskan’ membayar sekian ratus rupiah lebih tinggi dari tagihan semestinya.Rupanya, perilaku koruptif sudah menjangkiti hampir semua bidang kehidupan sosial ekonomi kita. Semuanya dilandasi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya!

Menurut Bertens (2000), mencari untung tidak boleh hanya asal tidak melanggar hukum karena bisnis yang tidak melanggar hukum, belum tentu tidak melanggar moralitas. Etika diperlukan untuk melengkapi hukum karena lima alasan: (a) hukum tidak mengatur segala sesuatu, (b) hukum sering kalah cepat dari perkembangan bisnis; (c) hukum selalu memiliki celah yang bisa disalahgunakan; (d) hukum sering tidak ditegakkan; dan (e) ketentuan hukum seringkali memiliki multi-tafsir.

Buku Pedoman Prinsip dan Penilaian Bisnis Beretika Berkelanjutan LOS DIY (2007) menyebutkan bahwa ketaatan pada hukum atau peraturan hanyalah salah satu dari 8 indikator etika. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang taat pada peraturan atau hukum, transparan, akuntabel, bertanggungjawab, wajar, jujur,berempati, dan independen. Indikator ketaatan pada hukum dan aturanlebih mudah diukur daripada ketujuh indikator lain. Dengan kata lain, dalam mencari keuntungan perusahaan wajib bersikap jujur, wajar, dan bertanggungjawab.

Oleh karena itu, untuk menilai apakah suatu bisnis itu etis atau tidak, Bertens (2000) mengemukakantiga tolok ukur etika bisnis: (a) hati nurani; (b) empati; dan (c) audit sosial. Bisnis yang baik selalu didasarkan pada hati nurani (yang baik). Hati nurani menuntun kita memilih yang baik, dan menghindari yang buruk. Empati menuntun kita untuk memperlakukan orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan (empati).Ini sejalan dengan pepatah bijak, “jangan mencubit orang lain bila kita tidak ingin dicubit”. Audit sosial, atau penilaian oleh masyarakat, mensyaratkan bahwa suatu bisnis disebut baik bila menurut pendapat umum adalah baik. Masihkah kita punya hati nurani dan empati dan bisakah audit sosial berperan dalam pencegahan perilaku tidak beretika? Mari kita tegakkan bersama!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline