Bekerja adalah kegiatan yang kodrati pada manusia. Manusia yang sehat akan bekerja sebagai bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan bekerja orang akan bisA menghasilkan pendapatan dan menumpuk kekayaan. Ada orang bekerja untuk dan pada dirinya sendiri (principal), dan ada orang yang bekerja untuk dan pada orang lain (agen). Dalam suatu hubungan kerja sering timbul masalahantara karyawan (agen) dengan ‘perusahaan’ (principal). Meski sudah ada undang-undang ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja diantara keduanya, masih saja terjadi sejumlah perselisihan. Dengan posisi tawar yang lebih rendah (secara organisional maupun secara personal), peselisihan itu menempatkan tenaga kerja pada posisi yang serba sulit dan dilematis. Posisi dilematis ini membuat tenaga kerja kurang bisa berpikir rasional dalam menegosiasikan kepentingannya terhadap perusahaan. Banyak yang akhirnya menyerah dan pasrah pada ‘kenyataan’ mereka membutuhkan pekerjaan di satu sisi, sementara lapangan kerja begitu sempit di sisi lain. Daripada tidak bekerja, diterima saja berapa pun upahnya. Demikian yang menghinggapi sebagian besar kaum pekerja kita.
Tenaga kerja yang sejahtera bisa terwujud apabila mereka terpenuhi hak dan harkatnya sebagai manusia yang bekerja.Sebagaimana yang dikemukakan dalam Undang-UndangNo. 13 tahun 2003, tenaga kerja yang sejahtera adalah tenaga kerja yang mendapatkan hak-hak normatif mereka, yaitu:
- Hak ekonomis seperti upah, tunjangan hari raya (THR), tunjangan hari tua, fasilitas perumahan, dsb.;
- Hak politisseperti membentuk dan menjadi serikat buruh, mogok, tidak mengalami diskriminasi, dsb;
- Hak medis sepertikeselamatan dan kesehatan,melahirkan, istirahat, menyusui, dsb.;
- Hak sosiologis seperti cuti, kawin, libur resmi, pembatasan jam kerja perempuan dan anak;
Hak ekonomis adalah hak yang paling mendasar. Untuk dapat hidup layak, tenaga kerja harus mendapatkan upah yang memadai. Tentu saja kata memadai ini bisa ditafsirkan berbeda-beda oleh pengusaha atau tenaga kerja. Tetapi aturan normatifnya (meski belum bisa memuaskan semua pihak) adalah pembayaran Upah Minimum (UMP/UMR/UMK). Bukan rahasia lagi, bahwa masih banyak tenaga kerja yang mendapatkan upah dibawah upah minimum dari pengusaha.
Peningkatan kesejahteraan tenaga kerja juga bisa diupayakan dari sumber-sumber lain, seperti tunjangan hari raya (THR), jamsostek, tunjangan hari tua, dan sebagainya.Semua itu sudah diatur, dan seyogyanya ditaati serta dijalankan oleh pengusaha sebagaimana yang diamanatkan. Mestinya tidak boleh ada manipulasi pemberian THR oleh pengusaha, baik berupa penolakan, kelambatan, atau pengurangan THR.
Sementara itu, sebagai makhluk politik, tenaga kerja juga memiliki hak politik ketenagakerjaan, diantaranya adalah untuk mengikuti atau membentuk serikat pekerja / serikat buruh. Bergabung dalam suatu serikat pekerja bisa menjadi sarana bagi tenaga kerja untuk meningkatkan kesejahteraan politiknya. Tenaga kerja bisa menjadi lebih kuat dan kolektif dalam menempatkan diri bekerja bersama perusahaan. Serikat pekerja di satu sisi bisa membantu tenaga kerja menyalurkan aspirasinya terhadap perusahaan. Di sisi lain, perusahaan bisa lebih mudah mengkomunikasikan kebijakan-kebijakanya melalui serikat pekerja.
Tenaga kerja yang merasa nyaman, aman, dan sehat saat bekerja diharapkan juga bisa lebih produktif. Kesehatan yang tinggi akan mengurangi risko absensi. Keamanan dan keselamatan kerja yang tinggi akan mengurangi biaya pengobatan. Pemberian libur yang memadai, sebagaimana yang diatur oleh undang-undang, diharapkan justru memberi efek positif bagi perusahaan maupun tenaga kerja. Pekerja yang bugar malalui istirahat yang cukup akan berkontribusi lebih positif pada perusahaan. Kelelahan fisik maupun psikologis akibat bekerja terus menerus bisa menimbulkan kejenuhan sehingga menurunkan produktivitas dan kreativitas. Atau bahkan kecelakaan kerja, yang berdampak pada peningkatan biaya pengobatan dan santunan.
Tenaga Kerja Perempuan dan Anak
Kesejahteraan tenaga kerja perempuan dan anak mendapatkan perhatian lebih khusus. Peraturan ketenagakerjaan mengakui kesamaan hak antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan.Bahkan karena fungsi reproduksi yang kodrati melekat pada perempuan, mereka mendapatkan hak-hak khusus seperti istirahat pada hari pertama dan kedua masa haid dan istirahat 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Tenaga kerja perempuan juga punya hak menyusui anaknya.
Selain itu peraturan juga melindungi tenaga kerja perempuan dibawah usia 18 tahun dan yang sedang hamil dengan melarang pengusaha mempekerjakan mereka pada jam 23:00 sampai jam 07.
Demikian pula dengan pekerja anak.Secara normatif pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Definisi bekerja pada anak ini memang masih menimbulkan banyak perdebatan. Tidak pernah ada batasan yang spesifik kapan anak boleh bekerja. Tetapi sepertinya bisa dikemukakan bahwa anak yang berusia 13sampai 15 tahun hanya boleh mengerjakan tugas-tugas ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak.Pengecualian ini pun harus mendapat ijin dari orang tua atau wali dan waktu kerja tak boleh lebih dari 3 jam sehari. Tentu bukan hal yang mudah, karena ada kalanya bekerja bagi anak adalah suatu keharusan bagi keluarga miskin. Tapi hakekatnya bekerja adalah kegiatan orang dewasa, dan bukan anak-anak. Anak-anak yang bekerja bukan saja telah tergadai waktu kanak-kanaknya. Kesehatan dan prospek mereka pun telah terenggut oleh praktik bisnis yang kapitalistik.
Kees Bertens (2000) mengemukakan sejumlah alasan mengapa anak sebaiknya tidak bekerja:
•Bekerja adalah wilayah orang dewasa, dunia anak adalah bermain. Bermain adalah kegiatanyang sifatnya sukarela sedangkan bekerja adalah suatu tindakan yang terpaksa.
•Dilarang oleh the Declaration of the Rights of the Child (SU PBB 1959)
•Merugikan kesehatan, pendidikan, perkembangan fisik, psikis atau moral.
Dari perspektif persaingan mempekerjakan anak juga mengandung dimensi tidak etis karena mendorong pesaing untuk melakukan hal yang sama agar bisa tetap mempertahankan biaya murah.
Pelanggaran etika menjadi lebih konkrit karena melanggar hak-hak anak. Pengusaha menuntut anak bersikap dan bertindak seperti orang dewasa (dengan bekerja). Padahal anak belum bisa menjalankan kebebasannya. Anak belum bisa mendesakkan apa yang mestinya dilakukan. Ini berarti perusahaan telah mengeksploitasi tenaga. Lebih repot lagi, pekerja anak tidak pernah terdaftar pada dinas yang berwenang (karena mempekerjakan anak dilarang undang-undang). Ini berarti tidak ada jaminan atau perlindungan apa pun (asuransi) kepada anak.
Praktik ini menjadi tidak fair, karena menekan biaya produksi dengan cara ini (mempekerjakan anak) telah mendorong terciptanya persaingan yang tidak fair. Pesaing pun akan tergoda untuk melakukan hal yang sama. Mempekerjakan anak juga memperburuk angka pengangguran. Karena sebagian pekerjaan orang dewasa dikerjakan oleh anak (yang bersedia menerima upah rendah) maka banyak orang dewasa yang menganggur. Dari analogi lingkaran setan, kenyataan ini akan meningkatkan angka kemiskinan. Kemisikinan mendorong orang tidak bisa mendapatkan pendidikan yang baik, yang akan berlanjut pada sulitnya mendapatkan pekerjaan yang baik pula.
Akhirnya, tenaga kerja yang sejahtera adalah tenaga kerja yang bisa bekerja dengan merdeka (bukan karena terpaksa), dan mendapatkan imbalan yang pantas dan layak, dengan waktu dan kondisi kerja yang layak, agar tenaga kerja bisa menjalani harkatnya sebagai manusia yang bebas dan bertanggungjawab (bukan budak).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H