Pungutan liar atau pungli ternyata sudah mendarah daging dan mewabah di negara ini. Pungli terjadi bukan hanya di meja-meja birokrasi, oleh pejabat berseragam, di instansi resmi. Meski dalam skala kecil, pungli terjadi di lahan parkir, pengisian bahan bakar, atau warung kelontong. Pungli yang dilakukan jumlahnya tak seberapa, tapi secara kumulatif bisa sangat fantastis karena dilakukan pada banyak orang. Berapa kelebihan yang dikantongi tukang parkir yang menaikkan tarip parkir dua kali lipat? Demikian pula, dengan dalih tidak ada uang receh kembalian, berapa keuntungan karyawan petugas pengisian bahan bakar di SPBU yang selalu membulatkan harga keatas (jarang sekali merelakan pembulatan kebawah). Berapa keuntungan pemilik warung atau toko yang membeli kembalian sebutir permen seharga Rp. 500?
Pungli sepertinya telah menjadi suatu kelaziman di negeri ini. Hampir setiap orang terlibat dalam pungli. Pengurus kampung yang memotong dana bantuan dengan dalih pemerataan pun patut disebut melakukan pungli. Bantuan mestinya hanya untuk yang memerlukan (asas kemanfaatan). Bahwa ada pihak yang tidak mendapatkan (asas keadilan) mestinya diperjuangkan dengan mengusulkan proposal baru. Sepertinya, kita harus berintrospeksi juga, jangan-jangan kita pun pernah melakukan pungli, alias berbakat korupsi?
Pungli dimaknai memungut sejumlah uang tanpa alas hak dan kewenangan. Pungli mau tidak mau menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Jangan kira bahwa pungutan seribu rupiah lebih mahal tidak berkontribusi pada biaya hidup. Berapa biaya parkir yang harus dikeluarkan seorang mahasiswa yang harus bolak-balik ke toko fotokopi. Kenapa kita harus membayar harga premium lebih tinggi dari yang semestinya? Teganya kita dipaksa menerima kembalian berupa permen, tetapi ditolak membayar dengan permen juga?
Tapi, yang lebih krusial dari fenomena diatas adalah bahwa berapapun besarnya, pungli adalah kebiasaan koruptif. Memungut apa yang bukan menjadi hak kita adalah korupsi. Bukankah itu berarti bahwa kita-kita yang terlibat dalam pungutan liar kecil-kecilan ini adalah juga koruptor? Jangan-jangan kita sama saja dengan koruptor itu. Sama-sama semangatnya: korupsi melalui pungli. Mungkin dulu para koruptor itu sebelum jadi pejabat adalah juga pelaku pungli kecil-kecilan. Atau sebaliknya, kita yang biasa melakukan pungli ini nantinya juga akan menjadi pejabat korup? Jangan-jangan kita berteriak-teriak memaki koruptor hanya karena kita belum mendapat bagian korupsi saja?
Suatu ketika, saya berdiskusi dengan pejabat pemerintah yang mestinya menindak pungli-pungli seperti itu. Mengapa banyak tukang parkir di tempat yang tidak semestinya, dengan tarip melebihi ketentuan? Apa hakekat pungutan parkir itu? Sebagai retribusi oleh pemerintah, penyewaan lahan oleh penyedia jasa parkir, atau ongkos pengawasan kendaraan? Bapak yang murah senyum itu mengatakan bahwa peraturan tidak pernah bisa diterapkan secara kaku. Mereka tidak mungkin melarang orang memungut jasa parkir, karena itu berarti merampas pekerjaan mereka, apalagi yang diselenggarakan oleh swasta.
Hati saya kecut mendengar penjelasan itu. Masygul benar menelusuri logika beliau. Bolehkah kita memaksakan jasa yang tidak dibutuhkan orang lain? Kenapa kita harus membayar ongkos parkir di halaman sebuah toko kecil, yang bahkan masih bisa saya tunggui? Kemana kelebihan uang jasa parkir yang dipungut melebihi harga tiket? Bisakah pemilik lahan menetapkan ongkos parkir melebihi kepatutan.
Sepertinya memang sulit menghapus pungutan liar di negeri ini, karena ini (memang betul) menyangkut kebutuhan perut. Tapi ada yang lebih krusial, yaitu bahwa pungli telah menjadi budaya kolektif yang dipraktekkan secara masif. Perlu penumbuhan kesadaran untuk berperilaku anti korupsi (anti pungli) pada diri kita. Jangan meminta apa yang bukan hak kita. Mari kita budayakan hidup bebas dari pungli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H