Pernahkah kita bertanya, untuk apa sebenarnya kita diuji oleh Sang Kuasa? Untuk apa kita diuji, jika jalan hidup kita sudah digariskan sejak awal diciptakan? Tentu kita akan memiliki jawaban yang berbeda, tergantung seberapa besar perenungan kita atas pertanyaan ini.
Memang dalam fase tertentu, kita seolah dibuat tidak percaya diri serta kehilangan jati diri. Fase ini membuat kita terus berpikir, dan merasa kehilangan kepercayaan diri kita. Seolah tidak ada guna apa yang sudah kita jalani. Seolah tidak ada manfaat dan timbal balik dari apa yang sudah kita perbuat dalam hidup ini. Seolah hidup berjalan datar-datar saja, tanpa ada yang menggugah.
Perasaan-perasaan yang terus muncul itu juga menjadi tanda tanya, apakah semuanya bagian dari garis yang ditakdirkan, sebagai bunga rampai kehidupan. Begitu pula kejadian-kejadian diluar angan dan rencana, ada yang meyenangkan hati, juga hadir sebagai sebuah petaka atas rencana-rencana besara yang sudah begitu matang disusun.
Untuk apa sebuah ujian?
Untuk apa sebuah ujian. Apakah untuk menguatkan? Bukankan segala kekuatan itu tak pernah secara utuh kita miliki, bukankah hati kita selalu dibuat lemah atas segala hal? Bahkan hati kita selalu condong pada jalan yang tidak semestinya dan ditolak sendiri oleh hati kita. Tetapi pada saat yang sama hati seolah membenarkan, dan diri kita ikut terjerembab dalam hal yang tidak disukai oleh-Nya.
Lalu kenapa keinginan hati kita itu dibuat untuk berubah-ubah atas berbagai hal? Apakah itu bagian dari garis takdir itu? Apakah hal itu agar dapat digolongkan sebagai seorang yang teguh atas salah satu ketetepan hati? Bukankah itu sama saja melemahkan di satu sisi, dan menguatkan kita di satu sisi yang berbeda?
Kenapa kita terus diciptakan untuk terus bertanya?
Kalau-lah kita diciptakan untuk taat pada garis takdir sejak kita diciptakan, untuk apa kita diberikan kebebebasan untuk bertanya? Untuk apa kita bebas menggunakan "kepala" dan "isi hati kita" secara liar dan kritis terhadap segala hal yang telah digariskan kepada kita sejak awal? Dan apakah salah jika "nikmat bertanya" itu kita gunakan sebanyak mungkin untuk mencari jawaban atas "kebingungan" yang natural muncul sebagai fitrah diri kita yang disebut makhluk?
Setiap harinya, seolah semuanya dimulai dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan atas apa yang terjadi dan kita alami besok, bahkan yang terdekat, beberapa jam lagi apa yang terjadi dengan kita. Apa yang telah digariskan kepada kita, isi kepala dan hati kita pasti dan mesti bertanya (jika kita merenung) apa sebetulnya garis takdir kita selanjutnya. Dan kita seolah dibuat penasaran atas hal itu.
Kita memang tak punya kuasa atas takdir, tetapi kenapa "kuasa" bertanya, berpikir dan merasa dengan begitu dalam diberikan kepada kita? Mari kita renungi segalanya. Bukankah dengan merenung dan bertanya kita juga akan menemunkan jawaban seperti Nabi Ibrahim Alaihissalam.