Lihat ke Halaman Asli

"Pemerintah Tidak Boleh Memaksa"

Diperbarui: 11 November 2021   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: Shutterstock

Secara jernih dan sadar, tidak akan ada titik temu dalam praktek beragama. Dalam istilah yang lebih jelas lagi, tidak mungkin seseorang yang beragama Kristen misalnya, harus melakukan ibadahnya dengan tata cara peribadatan yang dilakukan oleh umat islam. Bahkan, dalam konteks yang lebih kecil misalnya, seorang yang alergi terhadap ikan, tidak mungkin "dipaksa" oleh siapapun itu untuk mengkonsumsi ikan. Karena tentu akan menyakiti, dan menghilangkan hak pribadi orang tersebut. Artinya, ada ruang dan batasan yang harus dijaga, agar semua berada pada jalur, dan dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ada paksaan.

Negara hadir sebagai suatu "wadah", untuk menjaga dan menjamin warga negara agar tetap mendapatkan haknya. Artinya, dalam hal yang privat, bahkan universal, negara tidak boleh "memaksa" semua orang harus sama dalam dimensi agama, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi sebaliknya, negara harus hadir dan dapat menjamin bahwa hak beragama, politik, ekonomi, sosial dan budaya dapat dijalankan dengan baik oleh warga negaranya.

Kecenderungan memaksakan semua dimensi tersebut, agar dilaksankan oleh warga negara, adalah awal dari perpecahan. Persatuan yang dibangun, dengan "kalimat yang sama" pada dasarnya tidak perlu diganggu-gugat. Negara harus menjaga agar sekat-sekat kamar agama untuk tidak "rusak" dindingya, sehingga "aroma" dari kamar tersebut dapat mengganggu kenyamanan penghuni kamar lainnya. Dalam artian, negara tidak boleh dengan sengaja, apalagi memeliki unsur kesengajaan membiarkan kebocoran bahkan ingin menghancurkan sekat-sekat yang sudah ada menjadi satu ruangan yang luas.

Negara Adalah Rumah Besar

Dalam bernegara, harusnya seperti rumah besar, tidak elok rasanya dipandang mata jika rumah kita tidak memiliki kamar tidur, ruang tamu, dapur atau bahkan kamar mandi. Artinya, tidak mungkin rasanya kita akan mandi, atau bahkan buang hajat di dalam ruang yang akan kita pakai untuk tidur.

Atau kita akan makan, di ruang  yang kita pakai untuk mencuci, rasanya tidak mungkin. Maka, ruang-ruang yang sudah ada di dalam satu rumah, biarkan pada fungsinya. Sehingga memiliki nilai sebagai sebuah rumah, bukan sebagai sebuah ruangan serbaguna yang tidak elok dipandang mata.Kesadaran-kesadaran ini, yang sebetulnya harus dibangun di dalam konteks bernegara.

Negara harus sadar betul, akan keindahan sekat-sekat beragama yang ada. Dalam konteks kerukunan beragama, pemerintah rasanya tidak perlu membangun narasi "ini dan itu". Karena rukun yang sesungguhnya adalah bagaimana hak-hak masing-masing pemeluk agama yang tetap terjaga. Bukan sebaliknya untuk saling mecampuradukkan perilaku beragama, biarkan masing masing pada kamarnya.

Maka perlu ada autokritik bagi segala unsur bangsa untuk memiliki "kesalehan pikiran", agar tidak membangun narasi "ini dan itu" seolah agama mengajarkan paham radikalisme. Perilaku oknum tidak bisa rasanya disandarkan pada satu agama tertentu. Karena jika seperti itu, maka akan banyak perpecahan dalam bernegara. Waallahu a'lam bisshowwab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline