Lihat ke Halaman Asli

Supriyanto

Penyuluh Agama Buddha

Salahkah Jika Umat Buddha Ingin Kaya?

Diperbarui: 11 Juli 2024   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Agama Buddha memiliki pandangan yang unik dan mendalam tentang keinginan untuk kaya. Keinginan tersebut, seperti keinginan lainnya, dipandang melalui lensa ajaran Buddha yang menekankan kebijaksanaan, etika, dan meditasi sebagai jalan menuju pencerahan dan kebahagiaan sejati.

Pemahaman tentang Keinginan (Tanha)
Dalam ajaran Buddha, keinginan atau nafsu (tanha) dianggap sebagai salah satu akar dari penderitaan. Buddha mengajarkan bahwa keinginan yang tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakpuasan dan penderitaan karena segala hal yang diinginkan bersifat sementara dan selalu berubah. Keinginan untuk kaya bisa menyebabkan seseorang terjebak dalam siklus keinginan yang tidak pernah berakhir, yang pada akhirnya hanya menambah penderitaan. Dalam Dhammapada ayat 204:


 "Kesehatan adalah keuntungan terbesar, kepuasan adalah kekayaan terbesar, dapat dipercaya adalah kerabat terbaik, dan Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi."


Ajaran ini menunjukkan bahwa kekayaan materi bukanlah sumber kebahagiaan tertinggi. Kepuasan batin dan kesehatan adalah lebih penting daripada kekayaan materi. Keinginan yang berlebihan untuk harta benda sering kali menyebabkan ketidakpuasan karena manusia cenderung menginginkan lebih dari yang sudah mereka miliki. Dengan mengendalikan keinginan ini, seseorang dapat mencapai kedamaian dan kebahagiaan yang lebih sejati.

Pandangan tentang Kekayaan (Artha)
Meski begitu, Buddha tidak menolak kekayaan itu sendiri. Kekayaan yang diperoleh dengan cara yang benar dan digunakan dengan bijak bisa mendukung kehidupan yang baik dan bermanfaat. 

Dalam  Sigalovada Sutta (Digha Nikaya 31), Buddha memberikan petunjuk tentang bagaimana seorang awam seharusnya mengelola kekayaan mereka. Buddha menekankan pentingnya memperoleh kekayaan dengan cara yang benar, membagikan sebagian kekayaan untuk membantu orang lain, dan menggunakan kekayaan untuk mendukung keluarga dan komunitas.

"Seseorang yang beretika dan bebas dari keinginan buruk, seorang yang bijaksana, harus mendistribusikan kekayaannya dalam empat bagian: satu bagian untuk kebutuhan hidup sehari-hari, dua bagian untuk usaha bisnis, dan satu bagian untuk ditabung untuk masa depan."

Pandangan ini menunjukkan bahwa kekayaan harus diperoleh melalui usaha yang jujur dan etis. Selain itu, kekayaan harus digunakan dengan bijak untuk kesejahteraan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Dalam konteks ini, kekayaan menjadi alat untuk mendukung kehidupan yang bermakna dan penuh kebajikan, bukan sebagai tujuan akhir.

Etika dalam Mencari Kekayaan
Mencari kekayaan haruslah dilakukan dengan cara yang sesuai dengan Dhamma, yakni tidak melanggar moralitas dan prinsip-prinsip etika. Buddhis diajarkan untuk menghindari lima perdagangan yang salah: perdagangan senjata, perdagangan manusia, perdagangan daging (termasuk hewan untuk makanan), perdagangan minuman keras, dan perdagangan racun. 

Dengan menghindari bisnis yang merugikan makhluk lain, seseorang menjaga kemurnian batin dan karma mereka. Hal ini tercermin dalam  Anguttara Nikaya 5.177 , di mana Buddha menjelaskan lima jenis perdagangan yang harus dihindari.

"Lima jenis perdagangan yang harus dihindari oleh seorang umat awam adalah: perdagangan senjata, perdagangan manusia, perdagangan daging, perdagangan minuman keras, dan perdagangan racun."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline