Papa dan Mama Bukan Orang Tua Kandungku
Aku berdiri di depan cermin. Ibuku muncul dalam bayangan cermin itu. Rupanya ia sudah masuk ke kamarku secara diam-diam. Pintu kamarku memang terbuka. Mengetahui hal seperti itu, aku tersenyum. Ibu pasti melihat senyumku.
"Engkau tidak marah, khan?" tanya ibu setelah tepat berada di belakangku.
Aku membalikkan badan perlahan. Ibu memegang kedua pundakku. Dengan penuh harap, ibu mengulangi pertanyaannya. Rasa iba perlahan menggelayut dalam kalbuku. Sejak dua hari yang lalu ibu meminta persetujuanku. Ibu ingin menikah lagi.
Sudah enam bulan ayahku meninggal dunia akibat kanker otak. Sebelum wafat, ayahku menjalani rawat jalan sekitar dua tahun. Aku adalah satu-satunya keturunan dari pasangan suami istri Dyah dan Alimuddin. Alasan ibu ingin menikah lagi adalah keinginannya untuk mempunyai keturunan lagi. Ibu selalu mengatakan bahwa tidak boleh terlalu lama menunda untuk menikah lagi karena masa produksi ada batasnya bagi seorang wanita.
"Jika ibu sudah mempertimbangkan baik-buruknya, aku tidak keberatan," ucapku lirih.
Dengan gerak refleks ibu memelukku erat-erat. Cukup lama ibu memeluk dengan mengguncang-guncang badanku. Beberapa saat aku merasakan kehangatan dan rasa kasih sayang yang begitu besar kepadaku.
"Terima kasih, Arbain!" terdengar pelan suara ibu di telinga kananku.
Setelah peristiwa pagi itu, perubahan demi perubahan terjadi dalam rumah kami. Ibu memperkenalkan calon suami barunya, kemudian aku diajak berkunjung ke rumah orang tua calon ayah tiriku, dan proses pernikahan yang berlangsung begitu sakral.
Untuk membedakan penyebutan ayah kandung dan ayah tiri, aku lebih suka menyebut almarhum ayah kandungku dengan sebutan 'ayah' dan menyebut ayah tiriku dengan sebutan 'papa'. Ibu kandungku tidak keberatan dengan penyebutan itu.
Papa Gunarso lebih muda tiga tahun usianya daripada usia ibuku. Meskipun begitu, papa tampak cukup kebapakan. Dalam usia 34 tahun, papa sudah memimpin perusahaan multinasional. Pernikahannya dengan ibuku merupakan pernikahan yang pertama.