Budaya Antre Bukan Hanya Teori
Kegiatan antre bukanlah hal yang menyenangkan. Setiap orang berusaha agar tidak ikut antre jika hal itu memungkinkan. Masyarakat yang kian banyak dan fasilitas yang terbatas, memungkinkan orang harus antre untuk memenuhi kebutuhan atau kewajibannya. Dalam kehidupan nyata, banyak orang harus antre di puskesmas, kantor pos, tempat penjualan gas tiga kilogram, kantor bank, SPBU, bahkan untuk buang hajat pun, masih harus antre pula.
Dalam kegiatan Bimbingan Teknis Peningkatan Kompetensi Pengawas dan Penilik Sekolah dalam Implementasi Kurikulum Merdeka yang dilaksanakan di Hotel Harris, Samarinda (28-31 Mei 2023), peserta yang berjumlah tujuh puluhan harus rela antre pada saat-saat tertentu.
Pada saat berada di kamar hotel, harus ada yang mengalah dalam penggunaan kamar mandi. Setiap kamar ada dua peserta sedangkan kamar mandi hanya satu. Meskipun hanya berdua, tetap harus ada yang menunggu (antre) pada saat kawan sekamar sedang berada di dalam toilet/kamar mandi tersebut.
Ketika akan menggunakan lift, peserta harus menunggu dan antre masuk ke ruang lift. Hal itu akan berulang karena jumlah lift terbatas dan pengguna lift bukan hanya peserta bimtek. Banyak tamu hotel yang menggunakan lift yang sama pada saat-saat tertentu.
Peserta bimtek yang diselenggarakan oleh BGP (Balai Guru Penggerak) Kalimantan Timur perlu antre yang berulang pada saat makan siang. Mengingat waktu istirahat yang terbatas, peserta rela antre untuk mendapatkan jatah makan siang.
Pak Imam Mudin tampak ceria setelah mendapatkan jatah makan yang mengambil sendiri (prasmanan). Ia pun mencari tempat duduk yang masih kosong. Sementara itu, di belakangnya masih terlihat antrean cukup panjang.
Beberapa peserta sudah mulai menyantap hidangan yang diambil sendiri, sementara masih ada peserta lain yang baru antre untuk mendapatkan jatah makan siangnya. Mereka antre dengan tertib. Tidak ada peserta yang menyerobot antrean. Sebagai pengawas dan penilik sekolah tentu harus dapat memberikan contoh bahwa budaya antre bukan hanya teori tetapi harus diimplementasikan.
Saya termasuk peserta yang gercep (gerak cepat). Begitu acara sesi pagi-siang ditutup, saya bergegas menuju lantai lima. Ketika para peserta kelas A belum antre, saya lebih dahulu antre untuk mengambil makanan. Saya harus cepat-cepat menyelesaikan urusan makan agar segera dapat melaksanakan aktivitas pribadi, termasuk istirahat siang. Jadwal pertemuan siang-sore sudah ditentukan, yaitu pukul 13.30-18.00 wita. Kalau kita bersantai-santai dalam beraktivitas, tentu banyak waktu yang terbuang. Istirahat siang jadi berkurang.
Waktu yang tersedia harus dimanfaatkan secara cerdas. Kalau menuruti selera orang lain, urusan kita akan terbengkalai. Misalnya, ada kawan satu meja makan yang ingin mengajak berbincang hal yang kurang penting, tentu kita dapat menolak. Ada urusan pribadi yang harus dituntaskan.