Lihat ke Halaman Asli

Logika Obat atau Racun

Diperbarui: 28 Oktober 2017   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kehadiran pil PCC membawa kegemparan. Sepekan terakhir ini energi layar kaca tersedot membahas pil yang mengandung paracetamol, caffeine,dan carisoprodol itu. Tak dinyana pula, pil itu pun sudah merenggut puluhan nyawa dan dapat dibeli dengan harga sangat murah.

Kalau begitu, tentu saja PCC bukan pil biasa. Komentar pun tertebar mengalahkan logika. Banyak kalangan menyebut pil PCC dengan titel obat berbahaya. Sebutan kata obat itulah pula yang menjadi 'kegemparan' dalam berbahasa. Ternyata realisasi makna tidak sejalan dengan logika. Berikut ini contohnya: Di samping itu, pil PCC juga dapat digunakan untuk obat jantung. Nah, kalau dilihat dari kegunaannya bisa kita simpulkan bahwa ini adalah obat keras. Obat yang tidak boleh bebas beredar.

 Bukankah makna kata obat mengandung faedah? Biasanya obat itu bermanfaat. Sejatinya pula obat itu menyembuhkan bukan melumpuhkan. Sebagai misal, obat mata tentu akan menyembuhkan mata, obat jerawat akan menyembuhkan jerawat, serta obat flu diharapkan dapat menyembuhkan flu.

Hakikat inilah yang menjadi pangkal persoalan. Bila yang disebut obat itu dapat menyembuhkan, tentu saja pil PCC tidak masuk kategori pendefinisian. Berarti pula PCC termasuk racun yang ditebarkan, yang menggiurkan karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian.

Kata racun tentu berantonimi dengan kata obat. Keduanya bertolak belakang dalam arti dan kegunaan. Tidak bisa disamakan atau ditukarbalikkan. Karena itu, pil PCC layak menyandang sebutan racun yang sangat mengerikan.

Tertukarnya pemaknaan kata obat dan racun bukan kali ini saja. Sudah terlalu jamak kita menyebut pembasmi nyamuk dengan sebutan obat nyamuk. Selama itu pula logika bahasa tergadai tak berdaya: berkali dan berulang terucap kata 'obat nyamuk'. Kalau begitu, sebagai lelucon, pantaslah kalau nyamuk semakin sehat dan berkembang pesat, kan?

Masih banyak kata lain yang tertukar karena faktor logika. Sebut saja gigitan nyamuk atau hisapan nyamuk, antara kata masing-masing dan tiap-tiap, antara kata jam dan kata pukul, pun tertukar antara pemakian kata kami dan kita.

Secara fakta, nyamuk memang tidak memiliki mulut ataupun gigi, tetapi memiliki alat penusuk sekaligus berfungsi sebagai penghisap. Namun, selama ini kita menyebutnya dengan gigitan nyamuk.  Padahal, secara logika seharusnya disebut dengan hisapan nyamuk.

Begitu pula logika antara jam dan pukul. Penyebutan jam lebih tepat mengacu pada alat atau lamanya waktu. Secara sederhana kita mengatakan 'Adik membeli jam' bukan 'Adik membeli pukul'. Bisa pula dalam kalimat 'Dua jam yang lalu Gunung Agung menyemburkan lahar dingin' atau 'Selama dua jam koruptor itu diperiksa KPK'. Sebaliknya, kata pukul lebih tepat untuk menyatakan mulai, misalnya 'Pertemuan itu akan dimulai pukul 14.00' bukan 'Pertemuan itu akan dimulai jam 14.00'.

Pembanding terakhir ialah antara kata masing-masing dan kata tiap-tiap (setiap). Kedua kata itu memang serupa, tetapi tak sama. Kata masing-masing digunakan setelah kata benda (nomina), sedangkan kata tiap-tiap atau setiap berada sebelum kata benda.

Realisasi kata tanpa logika di atas terjadi karena faktor kebiasaan semata. Masyarakat tutur yang salah dalam logika bahasa akan mewariskan kesalahan itu pada generasi berikutnya. Hal inilah harus dibenahi sekarang juga!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline