Sebagaimana tulisan saya kemarin, pada hari Kamis tanggal 18 September 2014, saya diundang dan hadir di Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo. Ada dua acara penting yang diselenggarakan secara bersamaan, yaitu pengukuhan guru besar Prof.Dr. Amal Fathullah Zarkasy, MA dan Launching Universitas Darussalam Gontor. Pada acara itu, selain para alumni pondok pesantren Modern Gontor, juga hadir pejabat pemerintah, di antaranya Sekjen Kementarian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, sekjen Liga Islamic University, Prof.Dr. Abdul Salam dari Mesir juga datang.
Pada kesempatan itu, saya diundang dan hadir, sebagaimana posisi saya, ditunjuk menjadi ketua dewan kurator perguruan tinggi pesantren yang baru berdiri ini. Selain saya, beberapa orang yang berdomisili di luar Ponorogo dan ditunjuk sebagai dewan kurator misalnya Dr. Maftuh Basyuni, Dr. Muhammad Nuh, Dr. Hasyim Muzadi, Prof. Siswanto Masruri, Arifin Panigoro, Dr. Bamahsun, Prof. Rafieq, dan masih ada beberapa lagi lainnya, termasuk Prof.Abdul Salam dari Mesir. Sebagian dari mereka juga hadir dalam acara itu.
Kehadiran perguruan tinggi di tengah-tengah pesantren kiranya merupakan bentuk pendidikan baru yang diharapkan mampu melahirkan lulusan yang khas, berbeda dari lulusan pesantren maupun juga perguruan tinggi pada umumnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Kafrawi, MA., selaku ketua Dewan Wakaf Pondok Pesantren Modern Gontor, bahwa universitas Darussaalam Gontor masih akan tetap mempertahankan ciri khas kepesantrenannya. Ungkapan ini menggambarkan bahwa, pesantren bukan sekedar berbeda dari lembaga pendidikan lainnya, tetapi memang memiliki kultur atau budaya tersendiri, yaitu budaya pesantren.
Apa yang diinginkan dari pendidikan pesantren, yaitu seperti kemandirian, kesederhanaan, tanggung jawab, kepemimpinan, dan lain-lain sudah tampak hasilnya. Lulusan pesantren memang berbeda dari lulusan bentuk lembaga pendidikan lainnya. Akan tetapi, ciri khas untuk lulusan tingkat perguruan tinggi, sebenarnya masih sedang ditunggu. Memang, sebelumnya telah ada beberapa pesantren yang mendirikan perguruan tinggi, tetapi lembaga dimaksud tampaknya bersifat terbuka, dalam arti bahwa, para mahasiswanya tidak harus menjadi santri. Universitas Darussalam Gontor Ponorogo rupanya ingin mempertahankan ciri khas kepesantrenannya, sehingga para mahasiswanya sekaligus juga harus menjadi mahasantri.
Manakala ke depan perguruan tinggi pesantren ini konsisten dengan niat awalnya, yakni menjadi perguruan tinggi dengan tetap mempertahankan ciri khas kepesantrenan, maka kehadirannya akan menjawab problem besar yang selama ini dirasakan oleh banyak orang, yaitu ingin melahirkan orang yang memiliki dua kekuatan sekaligus, ialah unggul di dalam intelektual dan sekaligus juga kokoh dalam spiritualnya. Atau, dalam bahasa lain, adalah cerdas tetapi juga memiliki hati yang lembut. Maka setidaknya, dua kekuatan manusia, yakni hati dan nalar atau pikiran, ingin dikembangkan secara bersama-sama.
Cita-cita besar dan mulia tersebut, bagi Universitas Darussalam Gontor, ------yang baru berdiri itu, sekalipun berat dan sulit untuk mewujudkannya, terasa sangat mungkin bisa diwujudkan. Pondok pesantren Modern Gontor Ponorogo telah memiliki pengalaman panjang di dalam mengelola pendidikan, dan ternyata berhasil. Artinya, Pondok Pesantren Gontor telah melewati ujian panjang di dalam mengimplementasikan cita-cita para pendirinya. Alumninya telah tersebar luas hingga berhasil menempati berbagai posisi penting di tengah masyarakat, tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di berbagai negara di luar negeri. Kemampuan lulusan Pondok Pesantren Modern Gontor dalam dua bahasa asing, yakni Bahasa Arab dan juga Bahasa Inggris, berhasil mengantarkan mereka menempati posisi strategis di berbagai tempat yang dimaksudkan itu.
Sudah barang tentu, agar cita-cita besar dimaksud benar-benar bisa diraih, maka ada bererapa syarat yang harus dipenuhi oleh Universitas Darussalam Gontor. Misalnya, niat untuk menggabungkan dua tradisi besar, yakni tradisi pesantren dan tradisi perguruan tinggi betul-betul dijalankan. Para mahasiswanya juga sekaligus menjadi santri. Demikian pula, para tenaga pengajarnya, selain menjadi ilmuwan juga sekaligus sebagai kyai. Kemampuan Bahasa Arab dan bahasa Inggris bagi seluruh sivitas akademikanya tetap dikembangkan secara bersama-sama. Setidak-tidaknya empat komponen penting, yaitu masjid, laboratorium, perpustakaan, dan pusat-pusat kegiatan ilmiah harus menjadi prioriotas untuk dikembangkan secara bersama-sama.
Oleh karena perguruan tinggi pesantren ini adalah khas, atau setidaknya adalah bentuk atau rancang bangun baru, maka di dalam kesempatan berdiskusi, saya memberikan pandangan agar universitas yang ada di pesantren ini tidak meniru perguruan tinggi lainnya yang sudah ada. Perguruan tinggi pesantren ini seharusnya memang berbeda dari lainnya. Kehadirannya bukan sekedar menambah yang sudah ada, tetapi adalah memberi alternatif baru terhadap berbagai perguruan tinggi yang telah ada sebelumnya. Gambaran ideal itu sama dengan bentuk pesantren yang selama ini dikembangkan. Bahwa pesantren modern gontor selama ini adalah berbeda dari pesantren lainnya. Kehadirannya memberikan alternatif yang berbeda, dan itulah letak keunggulannya. Maka seharusnya demikian pula yang diharapkan dari kehadiran Universitas Darussalam Gontor sebagai perguruan tinggi pesantren. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H