Lihat ke Halaman Asli

Supli Rahim

Pemerhati humaniora dan lingkungan

Meneropong Kesuksesan Diri Kita sebagai Manusia

Diperbarui: 9 September 2020   07:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Bismillah,

Semua orang itu ingin sukses. Sukses yang seperti apa? Tentu saja sukses dalam hidup dan juga yang paling perlu adalah sukses dalam mati. Ukuran sukses itu jika kita serahkan kepada manusia pasti tidak ada yang hitam putih, pasti bias, pasti tidak tuntas. Tapi apakah sukses di dunia ini ada jaminan untuk sukses di akhirat? Tulisan ini mencob meneropong kesuksesan yang sesungguhnya.

Latar Belakang

Saya menulis ini karena saya dianggap sukses oleh banyak kalangan. Saya katakan bahwa kesuksesan dunia itu tidak ada jaminan. Sukses yang utama itu adalah sukses di akhirat. Kenapa, karena sukses di dunia ini tidak "genuine". Apa pula itu? Tidak genuine karena ukurannya apa? Kalau harta, maka harta itu akan banyak pertanyaannya. Dari mana dan baginanpa kau mendapatkannya serta bagaimana atau untuk apa kau membelanjakannya? Seorang Abdurrahman bin Auf menangis sejadi-jadinya ketika diberitahu bahwa dia akan terlambat masuk surga 500 tahun karena perlu waktu untuk menghisab semua hartanya dengan pertanyaan dan bukti yang "njelimet". 

Demikian juga jika ukuran kesuksesan adalah pangkat, jabatan, gelar, ilmu maka itu juga tidak jaminan sebagai ukuran sukses dunia akhirat. Kenapa tidak ada jaminan? 

Karena semua itu hanyalah ujian dari Sang Pencipta apakah kita syukur nikmat atau tidak, apakah kita justru menjadi kufur nikmat? Ada yang diberi sedikit, ada yabg diberi banyak, ada yang tidak diberi. Itu tidak jadi masalah karena Allah tidak melihat harta dan rupa kita tetapi Allah melihat hati dan amal-amal kita.

Ukuran Kesuksesan dunia akhirat

Tidak ada ukuran yang terbaik selain melihat, membandingkan dan mempedomani alquran, kitabullah dan  al-hadist, contoh dari kehidupan nabi Muhammad saw. 

Apa sudah ada kehidupan nabi pada kita, pada saya? Saya mengaku jujur, saya penulis bersumpah demi Allah bahwa saya belum hidup seperti nabi. Hiks hiks. Masih sangat jauh.

Apa yang semestinya kita tiru dari nabi tetapi tidak kita tiru.

Pertama, nabi hidup sederhana, kita hidup poya-poya. Nabi hidup sederhana karena banyak sedekah. Kita hidup poya-poya dan pelit dalam sedekah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline