Lihat ke Halaman Asli

Supli Rahim

Pemerhati humaniora dan lingkungan

Banyak Silaturahmi dan Bantu Orang Lain

Diperbarui: 31 Desember 2019   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pri

Bismilah, Alhamdulillah, Allahumma shaliala Muhammad.

Hidup itu adalah perjalanan. Perjalanan itu kadang mendaki, kadang mendatar dan kadang menurun. Arah dan suasana perjalanan sangat dinamis tidak statis. Tulisan ini mencoba memaparkan sejumlah kurikulum menjalani kehidupan agar bahagia dunia dan bahagia pula di akhirat.

Ketika kita masih bayi dan masih kecil kita tidak berdaya. Kita tidak ubahnya seperti kertas putih. Terserah ayah dan ibu kita untuk menulis apa. Dengan izin Allah ayah dan ibu kita membimbing kita hari ke hari, Minggu ke Minggu, bulan berganti tahun, tahun berganti windu, windu berganti dekade, dan dekade berganti abad.

Waktu kita kecil banyak yang mempengaruhi kita, mewarnai hidup kita. Mereka itu bisa guru kita, paman dan bibi kita, tetangga kita dan bahkan kenalan ayah ibu kita. Mulai dari cara kita makan, berpakaian, minum, berkendaraan dan bahkan cita-cita kita. Konon umur 0-7 tahun akan mencetak kita menjadi pribadi tangguh. Anak saya yang sulung sewaktu di Inggris pada umur 2-4 tahun  punya kebiasaan merobek buku daftar barang yang dijual. 

Setelah dewasa dia menjadi dokter gigi. Sekarang gigi dan gusi orang yang dia robek. Anak no 2 punya kebiasaan untuk menarik dagangan orang di toko sewaktu dibawa ke supermarket. Sewaktu dewasa di tumbuh sebagai ahli multi media.

Jalan hidup

Apa yang diuraikan sebelumnya dan judul tulisan ini mengingatkan kita bahwa jalan hidup manusia itu unik dan susah ditebak. Saya lahir dari keluarga petani, istri saya lahir dari keluarga sopir. Tidak ada dalam garis keluarga ada yang jadi guru apalagi dosen.

Setelah tamat pendidikan saya menjalani hidup sebagai tenaga honorer di dinas perkebunan di provinsi Bengkulu. Hari-hari saya bertemu dengan petani, pekebun dan penjual pestisida. Tak terpikir oleh saya untuk jadi dosen. Sampai suatu saat ada senior saya yang sering datang ke kebun kami yang merupakan proyek bantuan Bank dunia. Senior ini sering memanggil saya dengan panggilan doktor. 

Wahai doktor Supli apa Khabar? Saya yang bukan doktor karena baru beberapa bulan saja tamat dari kuliah S1 mesem-mesem saja. Bodoh amat pikir saya waktu itu. Tapi dalam hati ada keinginan untuk sekolah lagi, tapi entah kapan dan bagaimana caranya tidak pernah terbayangkan.

Kembali ke kampus

Termotivasi oleh senior yang sering memanggil saya sebagai doktor menjadikan saya punya keinginan untuk jadi dosen. Waktu mahasiswa saya memang mengabdi sebagai asisten dosen. Dengan modal nekad dan banyak silaturrahim dengan para senior termasuk para dosen, saya memperoleh bantuan untuk mendapatkan pendapatan antara lain mengajar di universitas swasta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline