Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran dari Debat Capres 15 Juni 2014

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14029859701854323992

Saya bersyukur kepada tuhan karena diberi kesempatan untuk menonton debat capres antara Prabowo dan Jokowi pada minggu malam 15 Juni 2014. Terlepas ini adalah bukan hal yang baru di negara kita, debat capres kali ini cukup menarik untuk disimak.

Debat malam minggu itu terasa benar benar "all-out" dari dua belah pihak. Walaupun tidak ditemani cawapres, pak Jokowi dan pak Prabowo bisa menyampaikan dengan jelas tentang gagasan dan ide tentang ekonomi kerakyatan, pekerjaan, investasi dan rencana pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan mereka. Tulisan ini mencoba menyoroti pelajaran yang dapat kita petik dari Debat Capres 15 Juni 2014 antara Prabowo dan Jokowi. Tujuan saya hanyalah sebagai kritik membangun untuk kebaikan kedua timses capres. Tidak ada maksud lain.

Kali ini debat yang dilangsungkan cukup mantap karena suasana terasa lebih cair, Prabowo bisa lebih mengendalikan suaranya, emosinya lebih stabil. Jokowi pun demikian, kualitas bicaranya jauh meningkat walaupun tidak ada JK. Dari pembawaan dan gaya bicara keduanya termasuk cukup bagus. Jika dibandingkan dengan  pidato waktu pemilihan nomor urut, kualtias pidato Jokowi ada peningkatan yang luar biasa, berkat didukuni oleh sejumlah pakar dalam kubu Jokowi-JK.

Berikut mari  kita bahas pelajaran-pelajaran penting dilihat dari dua sisi beserta kekurangan dan kelebihannya.

Ekonomi kerakyatan
Jokowi lebih fokus ke masalah pasar dan PKL, itu tidak lepas karena perannya sebagai walikota dan gubernur yang berhadapan langsung dengan PKL dan pasar. Prabowo di sisi lain lebih fokus ke kebijakan pertanian mengingat sebagian besar rakyat kita adalah buruh, tani dan nelayan. Saya yakin karena Prabowo banyak terlibat langsung ke banyak daerah di Tanah Air.

Untuk issue kerakyatan ini, dua duanya justru saling melengkapi. Prabowo dengan pertaniannya dan Jokowi dengan perdagangannya. Namun yang perlu disinggung adalah pembukaan lahan yang disampaikan oleh Prabowo tidak membahas masalah transmigrasi dan sebaran penduduk. harusnya Prabowo menyinggung pembukaan lahan, otomasis juga berhubungan dengan transmigrasi, di Jawa, tanah sempit namun buruh tani sangat banyak, di luar Jawa tanah luas namun buruh tani sedikit. Ini yang kurang disinggung oleh Prabowo. Prabowo juga tidak menyinggung perlunya peningkatan nilai tambah (added value) agar produktivitas jauh lebih tinggi. Karena penjualan komoditi pangan tanpa diolah tidak menghasilkan devisa apa-apa. Bayangkan harga 1 kg jagung kering pipilan hanya sekitar Rp 10.000 per kilo, sedangkan jika sudah menjadi "corn flake" dapat mencapai angka Rp 75 000, berarti meningkat 700 persen lebih.

Yang kedua, masalah kerusakan lahan, banyak yang menduga bahwa  Prabowo kurang pas menyampaikan lahan yang rusak dijadikan lahan pertanian, akan lebih baik  jika sebagian lahan yang rusak dikembalikan fungsinya sebagai hutan lindung atau perkebunan rakyat dan sebagian buat pembukaan lahan baru.

Jokowi disisi ekonomi kerakyatan juga berpandangan terlalu sempit, ekonomi rakyat itu kan luas, bukan hanya masalah PKL dan pasar. Jokowi juga tidak menyinggung masalah Mall dan toko modern, dan sayangnya Prabowo juga tidak menanyakan apa kebijakan Jokowi tentang toko modern yang menggerus toko kelontong dan pasar tradisional? Issue ini lepas dari Prabowo.

Pendidikan dan kesehatan
Prabowo mencanangkan wajib belajar 12 tahun dengan biaya negara (artinya wajib 12 tahun gratis) dengan penambahan anggaran 40 trilliun untuk merealisasikannya, sementara di bidang kesehatan, Prabowo lebih fokus pada peningkatan pendapatan bagi para pekerja dibidang kesehatan seperti dokter ,perawat atau bidan.

Untuk anggaran wajib belajar 12 tahun, cukup realistis jika butuh anggaran 40 trilliun, anggaran ini bisa didapat dari kebocoran anggaran negara atau pemotongan subsidi yang juga diamini oleh Jokowi. Namun di sisi kesehatan, Prabowo hanya fokus ke masalah gaji dan UANG. Meningkatkan kesejahteraan itu penting, namun kenapa tidak dibahas masalah obat murah, atau subsidi buat rumah sakit terutama swasta sehingga tidak ada lagi rumah sakit menolak pasien karena tidak mampu. Rumah sakit swasta cukup banyak di Indonesia, harusnya ada anggaran buat RS Swasta ini,, menngingat biaya operasional rumah sakit memang murni dari tarikan biaya pasien. Jadi, jangan salahkan RS kalau menolak pasien, karena bayar obat, dokter dan alat alat kesehatan itu juga butuh dana. Issue ini tidak dibahas oleh Prabowo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline