Bismillah,
Sejak lama kita harus mengakui bahwa ada perkembangan yang semakin baik dalam bernegara sejak gong reformasi di negeri ini "ditabuh" pada akhir dasa warsa 90-an akhir. Kita semua tahu bahwa selama orde baru hak-hak rakyat untuk mengekspresikan pendapat kepada pemerintah nyaris tidak mungkin. Itu mungkin sangat baik dan pas pada masa itu. Buktinya pembangunan berjalan di segala bidang. Hanya saja fondasinya tidak kuat. Kestabilan dan keamanan pada waktu itu terkesan "dipaksakan" sehingga sempat "terbakar" sangat parah di seluruh Indonesia. Rakyat marah dan konsekuensinya pak Harto harus turun dari jabatan sebagai presiden.
Turunnya pak Harto digantikan oleh pak Habibie tidak menjadikan sistem bernegara langsung baik. Tetapi beberapa indikator membaiknya tata kelola pemerintahan dapat dilihat dengan meningkatnya kebebasan dalam berbicara, mengekspresikan pendapat dan sebagainya. Hanya saja indikator membaiknya tata kelola pemerintahan dari aspek efektifitas dan efisiensi, meningkatnya kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa masih "fifty-fifty", ada yang semakin baik ada juga yang makin buruk.
Sejak reformasi yang juga diikuti dengan diberlakukannya otonomi daerah pada era Habibie hingga sekarang ada beberapa daerah yang menghasilkan pemerintahan efektif dan efisien. Tetapi itu menurut saya sangat sedikit. Yang kebanyakan terjadi adalah sejak zaman orde reformasi berlangsungnya pemerintahan yang "nyaris" bangkrut. Pemerintah pusat hingga pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus menanggung beban yang sangat berat yakni harus membayar biaya pegawai yang melebihi angka 70 persen lebih dari APBN dan APBD.
Mengapa demikian? Jawabnya tidak mengherankan. Organisasi pemerintah pusat tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah. Kabinet yang dipimpin oleh presiden terlalu gemuk sehingga "susah" untuk bergerak. Kalau susah bergerak maka berarti kabinet seperti itu jelas tidak efektif. Bukti-bukti tidak efektifnya kabinet selama zaman reformasi ini adalah banyaknya kementerrian departemen dan non-departemen yang "over-lapping" atau tumpang tindih. Banyak contohnya. Kementerian yang mengurusi UKM sangat banyak. Menurut teman-teman yang berada pada pemerintahan di daerah untuk mengurusi UKM melibatkan 14 instansi vertikal dan horizontal yang berada di daerah.
Apa jadinya jika satu urusan diurusi oleh banyak instansi? Ya semua orang tahu bahwa itu lambang tidak efektif dan tidak efisien. Instansi A mengganggarkan untuk hal yang sama dengan instansi B. Demikian juga dengan instansi-instansi lain pasti melakukan yang sama. Apakah hasilnya akan baik? Gak mungkinlah. Jika input sampah, diproses sebaik apapun pasti hasilnya adalah sampah juga.
Demikian juga untuk mengurusi infrastruktur. Departemen pekerjaan umum (PU) mengurusi infrastruktur, demikian juga Kementerian Pembangunan Wilayah Tertinggal juga mengurusi infrastruktur. Selain itu infrastruktur juga banyak diurusi oleh instansi lain.
Banyaknya kementerian menghasilkan kenyataan bahwa di pemerintahan di provinsi, kabupaten dan kota instansi-instansinya juga membengkak. Keberadaan instansi-instansi yang berada di bawah komando para gubernur, bupati dan/atau walikota itu juga merupakan "instruksi" pusat yang tertera dalam sejumlah Peraturan pemerintah (PP). Hanya saja ada yang terlupakan atau dilupakan bahwa para pejabat di daerah itu semua adalah mereka-mereka yang diangkat dan diberhentikan oleh kapala daerah. Dengan begitu, "perpanjangan pusat" untuk semua kementerian di daerah jelas tidak terjadi. Kendali para kepala daerah sangat kuat. Kendali para menteri adalah "NOL BESAR" untuk bidang tugas masing-masing kementerian.
Apa yang menjadi pemikiran kami dan teman-teman di daerah dalam rangka memperbaiki keadaan? Hal pertama yang harus diperbaiki oleh para elit negara ini adalah perbaikan komitmen semua pihak untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan negara ini. Hentikanlah berfikir dan bertindak tidak efektif dan efisien dengan menahan diri untuk tidak bagi-bagi kekuasaan. Satukan jumlah menteri yang sama kewenangan dan fungsinya, demikian juga instansi-instansi di daerah. Pakailah prinsip "miskin struktur tetapi kaya fungsi". Kita sangat prihatin dengan tingginya beban negara hanya untuk pegawai yang nyaris tidak bekerja dengan efektif dan efisien.
Sebagai contoh jika UU Pilkada sudah melalui DPRD maka rampingkan organisasi KPUD sehingga APBN dan APBD menjadi minimal. Banyak sekali penghematan bisa dilakukan jika kementerian bisa disatukan. DPRD provinsi mungkin perlu ditinjau kembali apa diperlukan apa tidak. Demikian juga semua instansi di bawah gubernur terlalu banyak seperti sekarang ini. Itu semua banyak menggunakan anggaran yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur di daerah-daerah yang makin memprihatinkan.
Demikian tulisan saya ini. Banya sekali yang saya ingin soroti tetapi terbatas dalam waktu dan ruang. Insya allah teman-teman bisa menambah atau menguranginya. Tidak ada tendensi untuk merugikan para pihak, tetapi secara tulus untuk perbaikan bernegara yang sudah semakin baik ini. Saya mohon maaf jika tidak berkenan. Kepada Allah saya mohon ampun.