Lihat ke Halaman Asli

Supli EffendiRahim

pemerhati lingkungan dan kesehatan

Bisakah Kita Mulai untuk Menghargai Sesama

Diperbarui: 22 Juni 2021   08:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Bismillah,

Penulis akan menulis artikel ini dengan gaya aku. Aku teringat dengan sejarah kehidupan keluarga ayah yang menurutku unik. Kenapa? Karena ayah dan ibuku hanyalah orang desa terpencil, sebuah keluarga yang ingin maju, walau penuh kekurangan. 

Waktu makan pagi, makan malam, atau makan siang kami selalu diajak berfikir tentang masa depan. Ayahku memotivasi anak-anaknya yang masih kecil untuk belajar supaya jadi orang hebat. 

Sekolah dan sekolah

Tidak ada cara untuk maju anak-anakku unrtk maju dan menjadi orang hebat kecuali kalian belajar yang rajin. Karena hanya dengan sekolah nasib keluarga kita akan jauh lebih baik. Dia mencontohkan pemimpin negara kala itu presiden Soeharto sangat menekankan pentingnya pendidikan kepada anak bangsa agar dapat menjadi maju, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia.

Ketika keluarga ayah, kuajak ke kota besar tempat aku kuliah ayah dan ibu hanya ikut saja dengan ideku yang "gambling" itu. Banyak dari tetangga yang protes dan menasehati  agar tindakan nekad kala itu jangan dilakukan. Tetapi kakek, ayah, ibu dan adik-adik sudah satu tekad untuk pindah ke kota apapun yang akan terjadi.

Lebih-lebih kakekku Merinsan kala itu tak mau ketinggalan. Dia bertekad ingin mati di kota. Waktu itu kepindahan kami sekeluarga besar terjadi pada tahun 1984 dengan hanya modal nekad. Kenapa nekad? Ada sejumlah alasan. Pertama, penulis baru saja menyelesaikan studi di bangku kuliah dan sudah mulai bekerja sebagai asisten dosen alias dosen muda di tempat yang sama dengan tempat kuliah semula.

Kedua, aku punya keyakinan bahwa kakek, ayah, ibu dan adik-adik semua punya rezeki melalui aku atau tanpa melalui aku. Atas dasar itu maka aku berani mengajak mereka pindah ke kota.

Alhamdulillah keyakinan dan tekad keluarga kami mulai terbukti. Walau sederhana kami sudah punya rumah sendiri yang dibangun ayah sewaktu baru saja tamat kuliah. Tanah dan rumah itu pada masanya aku hibahkan untuk ayah dan ibu. Dari rumah itu ayah dan ibu bisa membeli rumah di kota lain di provinsi kelahiranku.

Ketiga, berkah dari memindahkan kakek, Yah, ibu dan adik-adik banyak sekali bukan saha untuk mereka tetapi juga untuk keluargaku. Keluarga ayah yakni adik-adik sudah mapan semua. Ada yang kerja jadi guru, jadi istri PNS dan istri polri. Demikian juga anak-anak mereka kini sudah berserakan dan jadi orang semua.

Keluargaku bisa keluar negeri untuk studi dan demikian juga anak-anakku. Mereka ada yang bekerja dan menikah di luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline