Bismillah,
Semua mabi dan rasul diutus oleh Allah swt untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah mereka dari keburukan. Mengajak kebaikan atau amar makruf saja tidak cukup. Mesti diikuti oleh nahi nungkar atau mencegah kemungkaran. Kedua perintah ini bersifat wajib kepada manusia supaya mereka beruntung. Tulisan ini mengungkapkan pentingnya amar makruf nahi mungkar.
Banyak dalil
Dalam alquran maupun al-hadist perintah agar manusia beriman atau manusia pada umumnya melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Tidak kurang dari ratusan dalil. Salah satu dalil yang mendasari perintah amar makruf nahi mungkar adalah pada ayat alquran berikut.
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104).
Dari ayat tersebut ada makna yang salam yang dapat kita petik.
Pertama, Allah swt tidak mewajibkan amar makruf nahi mungkar kepada semua manusia tetapi segolongan umat saja. Ini berarti bahwa jika ada yang sudah ambil bagian untuk melakukan upaya mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada hal yang mungkar itu sudah dianggap cukup.
Kedua, mentaati perintah Allah bukan hanya pepesan kosong tetapi bermanfaat yang banyak. Apa manfaat amar makruf nahi mungkar? Pada ayat di atas sangat jelas bahwa manfaat amar makruf nahi mungkar adalah suatu keberuntungan yang besar. Mengapa besar? Karena yang mengatakanya adalah Allah swt.
Fadhu kifayah
Dari apa yang dijelaskan sebelumnya semakin jelas bahwa amar makruf harus difahami dengan benar bahwa amar makruf itu bersifat fardhu kifayah. Walau demikian amar makruf dan nahi mungkar mesti dilakukan oleh setiap pribadi muslim agar memperoleh keberuntungan dala. hidup.
Syekh an-Nawawi Banten di dalam kitab beliau, Tafsir Munir berkata, "Amar ma'ruf nahi munkar termasuk fardlu kifayah. Amar ma'ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang tahu betul keadaan dan siasat bermasyarakat agar ia tidak tambah menjerumuskan orang yang diperintah atau orang yang dilarang dalam perbuatan dosa yang lebih parah. Karena sesungguhnya orang yang bodoh terkadang malah mengajak kepada perkara yang bathil, memerintahkan perkara yang munkar, melarang perkara yang ma'ruf, terkadang bersikap keras di tempat yang seharusnya bersikap halus dan bersikap halus di dalam tempat yang seharusnya bersikap keras." (Syekh an-Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan ketiga, jilid II, halaman 59.