Lihat ke Halaman Asli

Supli rahim

Penulis dan dosen

Sawah Licak Itu adalah Bagian dari Hidup Kami

Diperbarui: 2 Juni 2022   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sawah Licak Itu Sangat Berjasa

Bismillah,

Pagi ini penulis membaca dan mendengar kata sawah licak. Kata itu terdengar dari suatu dialog antara suami istri ketika mereka  saling sapa. Apa yang mau dimasak untuk ke sawah pagi ini?

Ingatan jauh

Ketika mendengar kata "sawah licak" penulis menerawang ingatan jauh ke belakang. Penulis teringat jalan menuju ke sawah waktu di desa, jalan itu licin, jalan itu banyak sawah padi, jalan itu ada ikan kecil, jalan itu ada ular.

Di sawah licak penulis memulai pemahaman tentang hidup. Hidup itu adalah pengorbanan, hidup itu adalah belajar, hidup itu adalah susah. Di sawah licak penulis memulai memahami bahwa hidup itu warna warni, ada sawah tanah, ada sawah batu, ada sawah genangan, ada sawah kekeringan. Di sawah licak itu penulis mulai memahami ada beras hitam, ada beras putih, ada beras berbatu, ada beras mentah.

Mata berair

Mendengar kata sawah licak menyebabkan mata penulis berair. Bukan karena kena air pedas, bukan karena air panas tapi karena ingatan yang jauh ke masa lalu. Mendengar kata sawah licak ini penulis teringat kepada masa masa susah, masa antara makan dengan tiada, masa kerja keras membanting tulang. Masa itu yang membanting tulang adalah ayah ibu penulis, kakek nenek penulis, paman, saudara.

Pernah menyaksikan ayah penulis sakit keras, ibu ditusuk bambu. Ayah hampir saja meninggal dunia, demikian juga ibu. Kakinya hampir putus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline