Bismillah,
Kampungku Lubuk Langkap yang berada nun jauh di Kabupaten Bengkulu Selatan sana tidak dapat dianggap remeh, meskipun termasuk bilangan dusun terpencil yang relatif jauh letaknya dari ibukota kabupaten Manna.
Kampung yang berdiri tidak tahu persis tahun berapa itu mengalami dinamika seperti kebanyakan kampung-kampung lain yang ada dimuka bumi Allah ini, juga terjadi pasang surut terutama dari aspek populasi penduduknya dan jumlah rumah kediaman tempat tinggal masyarakatnya.
Keluarga Penulis sendiri mulai tinggal di kampung ini di penghujung tahun 1972, berkenaan dengan berakhirnya masa aktif Ayahenda Marzuki Djuansah sebagai seorang abdi negara di Sira Pulau Padang Ogan Komering ilir Sumatera Selatan.
Meskipun dulunya berangkat meninggalkan Manna kota kenangan dari Bandar Agung Ulu Manna Ulu, tapi kakek Djuansah dan saudara-saudaranya beserta keluarganya sudah boyongan berada di Lubuk Langkap.
Juga tiga orang saudara perempuan kakek Meransyah ikut hijrah pula ke kampungku yang letaknya dikelilingi sungai dan perbukitan itu, serta hamparan persawahan terbentang luas sebagai usaha pokok penduduknya.
Hal pertama yang Penulis amati yaitu pola hidup masyarakatnya yang nampak sekali hidup berdampingan secara rukun penuh dengan rasa kekeluargaan, terutama dalam melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wata Allah, yang ini merupakan inti dari tulisan ini.
Ketika itu di tahun 70an awal warga Lubuk Langkap hanya memiliki sebuah rumah ibadah berupa masjidi yang relatif kecil, yang konstruksinya dari kayu dengan beratap kayu dan lantai kayu yang sedikit di tinggikan dari tanah seolah-olah menjadi lantai panggung.
Masjid kecil itu dibangun diatas tanah Wakenda Muir sepupu Bapak Marzuki dari pihak nenek yang lokasinya lebih kurang 80 meter dari tempat wisata pemandian Lubuk Langkap sekarang.
Letak masjid ini juga sebagai indikator bahwa generasi awal Lubuk Langkap pertama banyak yang membangun kediaman di bahagian darat peristilahanya, yang memang letak kampungku seolah-olah terbelah dua, lembah dan darat.