Lihat ke Halaman Asli

Kematian Kampung Pasca Ramadhan 1434

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1375993110488312847

[caption id="attachment_258712" align="aligncenter" width="300" caption="Source Foto: Fshadowness.com"][/caption] Sangat kontras suasana malam pasca Ramadhan. Malam ini terasa mencekam. Sepi. Sunyi luar biasa terasa. Inilah mungkin kenyataan dari bahasa yang sering didengungkan tentang "Kehilangan Ramadhan." Ya, Ditinggal Ramadhan eksesnya Kematian Kampung, Sunyi tanpa manusia aktivitas malam. Ibarat gaang ka tincak, orong-orong terinjak. Tak ada suara manusia satu pun. Sesekali kendaraan lewat jarang, satu jam sekali kadang.  Terasa seperti ku hidup tahun 80-an di saat kampung belum terlistriki. Saya masih nonton Tv ditemani ditemani istri hingga pukul 23.00 WIB. Beberapa kali istri mengingatkan "Kok beda amat yah suasana malam ini, musti ekstra hati-hati...!" Katanya, mengingatkanku akan sesuatu hal kejadian-kejadian yang tak terduga. Maksudnya, keamanan kampung. Feeling istri selalu kuperhatikan. Sebagai tindakan nyata, kami pun melakukan preventif. Melihat kunci pintu, jendela, dan mengunci ganda kendaraan. Suasana seperti ini sering terjadi dan sering benar adanya esok hari, banyak kejadian pencurian. Biasanya, orang enak tidur dan terlalu lelap itu lalai dengan keadaan. Jika kita baca atau dengar dongeng orang dulu. Keadaan gerimis malam ini, ciri-ciri kampung yang telah ditebar ilmu "sirep" sehingga seolah-olah kampung ini mati tak berpenghuni. Mungkin perasaan semacam ini (boleh-boleh) kan dikategorikan sebagai ilmu titen, ilmu menelaah ciri-ciri alam. Berbeda sekali kemarin malam. Ramai selalu ada aktivis manusia yang kita dengar setiap malam. Kebetulan rumah Kami dekat sekali dengan Mushola. Tepatnya atap mushola An-Nur berada dengan tempat tinggal Kami. Kekontrasan inilah yang membuat kami waspada. Biasanya pukul 01.00 WIB saya masih ngobrol dengan anak-anak muda yang kena giliran Tadarus Qur'an. Kini mereka seolah-olah raib ditelan bumi. Suara mereka hilang dari peredaran alam bahkan di  tempat tongkrongan, warung sebrang jalan rumah pun  tak terdengar cekakak-cekikik mereka. Selepas malam Ramadhan benar-benar sepi mengalahkan sepinya malam saat ada kejadian kematian  wanita hamil atau kematian korban kecelakaan yang otaknya berceceran di jalan. Tadi ada suara aneh. Saya merinding. Saya sudah bilang pada istri, "Tv jangan dimatikan hingga pagi agar kita seolah-olah disangka masih terjaga!" Dan satu lagi gumamku, "Mudah-mudahan terhindar dari sirep manusia maupun alam!" Karena isyarat inilah aku terjaga. Dan kekhawatiran inilah yang memaksa saya utuk menulis di Kompasiana tentang kematian kampung pasca Ramadhan. Hoammmm... Kantuk menyergap. Tapi saya tetap bertahan untuk melawannya. Walaupun kepala terasa berat kecapean, seharian ziarah keliling lima penziarahan. Dalam hati berdoa, mudah-mudahan Kampung Tercinta ini tidak ada kejadian apapun....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline