Lihat ke Halaman Asli

Mencermati Makna Pemilu Tahun 2014

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14060093281021519347

[caption id="attachment_334696" align="aligncenter" width="300" caption="youtube.com"][/caption]

Kita hidup di tengah jaman yang rentan terhadap kemiskinan moralitas. Kepentingan elite golongan, kelompok, kekuasaan, jabatan dan uang ternyata sebagai akar rumput pemicunya. Kondisi ini terlihat jelas mana kala kedua  capres saling mengklaim kemenangan bahkan ada yang ngotot ingin menjadi pemenang dan selalu berusaha untuk mencari-cari celah agar terpilih menjadi pemenang. Janji siap kalah dan siap menang, seakan-akan menceritakan bahwa betapa kesatrianya, tetapi ketika janji ini menyimpang karena ditunggangi oleh penumpang gelap,  lengkaplah sudah kemiskinan moralitas itu.

Rasanya hampir mustahil untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Sebuah partai yang menjadi jembatan utama rakyat, menjadi satu-satunya harapan mewakili rakyat, ternyata malah justru sering disalah gunakan oleh penumpang gelap untuk kepentingan elite golongan. Membentuk dinasti kekayaan pribadi, keluarga dan  membangun jaringan korupsi yang laten. Contoh kasus nyata misalnya terbongkarnya kasus korupsi untuk memenangkan pemilihan bupati dan gubernur, t erbongkarnya kasus korupsi yang memenangkan sengketa tanah, penyalah gunaan wewenang, dan masih banyak lagi,  telah  menambah ramainya kasus korupsi dan kemiskinan moralitas.

Tahun ini tepatnya bulan Juli 2014,  merupakan tahun bangkitnya relawan politik. Banyaknya seni dan manufer berpolitik yang kebablasan, ternyata malah  justru mendewasakan dan menyadarkan masyarakat akan kecurangan dan ketidakberesan para elite berpolitik. Kedewasaan berpolitik masyarakat mulai bangkit dan tingkat partisipasi untuk ambil bagian mengawasi jalannya politik mulai dirasakan dimana-mana . Rakyat tidak ingin dibodohi seperti kasus kemenangkan pemilihan bupati dan gubernur yang ternyata itu hasil rekayasa oleh oknum tertentu. Saat ini dan yang akan datang harus menjadi catatan penting bahwa politik itu sudah menjadi milik rakyat. Inilah demokrasi yang sesungguhnya lahir dari rakyat dan untuk rakyat.

Kehadiran Jokowi alias Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden menjadi fenomena yang luar biasa untuk bangkitnya sebuah revolusi pilitik yang transparan. Kedua capres ini mampu mengubah sebuah kecemasan menjadi sebuah harapan baru. Perbedaan demi perbedaan yang menonjol secara pribadi maupun dari  kedua kubu masing-masing yang terlihat secara transparan melalui media cetak, online dan media sosial, ternyata berdampak sistemik kepada masyarakat. Masyarakat menjadi kritis untuk menilai dengan hati nuraninya.

Siapapun yang akan menjadi presiden terpilih hasil dari KPU,  itulah pilihan yang terbaik dari hati nurani rakyat, rakyat sudah mengawal dan mengawasi melalui sebuah perjalanan yang panjang, bukan jamannya lagi ada interpensi dari kepentingan gologan, tetapi itulah kehendak rakyat. Konsekwensinya siap mundur jika janji- janjai manis itu hanya dibibir saja. Hari demi hari rakyat akan terus mengawasi. Karena suara rakyat benar-benar menjadi primadona dan dipertaruhkan. Menjadi catatan penting untuk bersikap legawa dan jadilah pendamai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline