Lihat ke Halaman Asli

Pemilu Pertama

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu adalah hari yang biasa di negara dunia ketiga, langit yang masih tegak lurus di horizon, udara yang masih bersahabat, dan bumi yang masih mengorbit dengan dinamis pada orbitnya. Namun yang sedikit berbeda saat itu adalah atmosfernya, infeksi partikel pemilu yang dihembuskan saat itu telah menimbulkan efek berbeda bagi sekelompok homo sapiens yang daerahnya terpapar untuk memunculkan pilihan-pilihan dilematis, sekalipun di antara pilihan-pilihan tersebut adalah hal yang tidak realistis. Namun begitulah politik, pilihan-pilihan yang tidak realistis pun dapat disulap menjadi karangan bunga yang indah.

Di tengah invasi partikel tersebut, Dani, seorang homo sapiens muda yang baru saja menerima Kartu Tanda Penduduknya, sedang bersiap-siap untuk mencicipi pengalaman menghirup partikel pemilu untuk pertama kalinya. Dani hanyalah anak biasa, molekul-molekul di tubuhnya membentuknya menjadi anak muda zaman sekarang. Kepalanya berparadigma bahwa kesenangan nomer satu dan bangsa adalah nomer sekian, politik pun hanya dikenalnya melalui media-media yang telah berpolusi. Singkat kata, Dani buta tentang apa yang akan segera dialaminya.

Baru saja tangannya meraih genggaman yang diulurkan gagang pintu, handphonenya meraung-raung, mengisyaratkan sebuah pesan telah dimasukkan semena-mena ke dalamnya. Dani berbalik dan mengusap handphonenya, matanya membaca otaknya mencerna, isi pesan itu singkat, tapi mungkin berpengaruh pada apa yang akan dijalaninya.

From : 08181876920

Eh Dan, lo pilih siapa pemilu ini?

Udah pilih #1 aja, tim suksesnya ngasih gue duit nih

Siapa tau di tempat lo juga ada, hehehehe

Senyum kecil mengembang di bibir Dani. Baginya kalau memang ada uang yang mendarat di kantongnya, tak masalah jika ia harus menjual dirinya, yang penting jumlahnya cocok untuk kantong anak muda sepertinya.

Dani kembali menyambut uluran gagang pintu yang mulai lelah menunggu dirinya, kemudian menguncinya untuk memberinya rasa aman. Kakinya terayun perlahan-lahan, menikmati setiap jejak yang menandai pengalaman pertamanya menghirup partikel pemilu. Sesekali matanya bermain, melirik kanan dan kiri, tentu saja yang dicarinya adalah makhluk-makhluk fanatis penyembah mereka yang memajang fotonya di surat suara.

Sepertiga langkahnya menuju tujuan, seakan menjawab permainan mata dari Dani, seekor makhluk fanatis menghampirinya.

“Mas, mas!” Makhluk fanatis mengeluarkan suaranya untuk memanggil Dani. Dani pun berhenti dan menoleh, ia mendapati makhluk fanatis tersebut sudah ada di depannya.

“Nanti dipilih Pak #2 ya Mas, ini ada sedikit buat Mas”, makhluk fanatis tersenyum sambil menyisipkan sebuah amplop kecil ke dalam kantong baju Dani dan menepuk-nepuknya. Dani pun tersenyum sambil menganggukkan kepala, kemudian berbalik untuk melanjutkan perjalannya menuju episentrum partikel pemilu. Di belakangnya makhluk fanatis kembali ke posisinya, mencari lagi jiwa-jiwa yang bisa disesatkan.

Di sela-sela ciuman telapak kakinya pada bumi, Dani mengintip isi amplop di kantongnya, hanya untuk memuaskan rasa penasarannya akan nominal yang dipeluk erat oleh amplop itu. Hanya seratus ribu, tapi bagi Dani itu sudah cukup untuk menjual dirinya.

Tujuannya semakin dekat, ketika langkahnya terinterupsi oleh kehadiran seseorang di depannya. Sedikit pengamatan dan Dani tahu, orang ini juga makhluk fanatis, namun dari calon yang lain. Maka ia bersiap untuk menjual dirinya kepada orang yang disembah makhluk fanatis ini jika nominal yang diberikannya lebih tinggi.

Makhluk fanatis kedua ini tidak banyak bicara, ia hanya menyodorkan 100 ribu tanpa amplop kepada Dani kemudian memberi isyarat padanya untuk memilih tuan #2 dengan tangannya. Dani kembali mengangguk kepada makhluk fanatis kedua ini, tapi kali ini anggukannya tidak semantap tadi, ada nuansa dilema di sana. Kini ia bimbang, kepada siapa ia akan menjual dirinya. Dua makhluk fanatis memberinya 200 ribu, masing-masing 100 ribu untuk dua calon yang mereka sembah, nominal uang yang sama ini membuatnya terjebak di pucuk gunung kebimbangan. Lain halnya ketika nominalnya berbeda, mungkin lebih mudah bagi Dani menentukan pada siapa ia akan menjual dirinya. Di tengah kebimbangan itu, kakinya kembali mengayunkan langkah.

Buai kebimbangan telah menyihirnya, hingga tanpa ia sadari, tujuannya di depan mata. Episentrum partikel pemilu, tempat di mana homo sapien yang terinfeksi menyerahkan diri mereka pada orang-orang yang hanya mereka kenal secara setengah-setengah, seringkali telah dibungkus dengan bingkai yang begitu indah. Ada yang secara sukarela menyerahkan dirinya dengan kesadaran penuh, tanpa tekanan dan paksaan, namun ada juga yang menyerahkan dirinya pada mereka yang mampu membeli dirinya, Dani mungkin telah satu langkah lebih dekat kepada jenis ini.

Dani menyelesaikan administrasi untuk mendapatkan surat suara pertamanya, kemudian duduk sambil menunggu giliran. Menghirup langsung partikel pemilu dari episentrumnya membuatnya gugup, tapi sesungguhnya yang membuatnya gelisah adalah kebimbangannya. Dua lembar uang 100 ribuan telah membawanya ke titik ini, titik di mana ia tidak tahu kepada siapa ia akan menjual dirinya. Dani tidak begitu mengenal orang-orang yang fotonya tidak tercetak di surat suara, yang disembah oleh para makhluk fanatis yang memberinya uang. Dani bukan anak yang khusyuk mengamati berita-berita politik ataupun hal-hal seputar apa yang akan dialaminya sebentar lagi. Ya, Dani benar-benar buta dan itu hanya membuat kebimbangannya semakin menjadi-jadi karena ia menyadari ketidaktahuannya menyebabkan ia tidak bisa meminta nalarnya untuk memilih.

Waktu berlalu dan ia semakin dekat, kebimbangannya tak juga reda. Untuk mereka yang sudah berkali-kali menghirup partikel pemilu mungkin tak akan sesulit ini. Tapi bagi Dani ini adalah yang pertama dan yang pertama selalu akan sulit.

Akhirnya waktu datang menghampiri Dani, sudah saatnya ia menentukan pilihannya. Pada siapakah ia akan menjual dirinya? Sejujurnya kebimbangannya itu masih berkabut di kepalanya. Ia berdiri di kotak suara, membuka surat suaranya perlahan, kedua foto yang ada di dalamnya langsung menatapnya tajam, seakan menuntut balas budi padanya setelah apa yang diberikan oleh makhluk fanatis penyembah mereka.

Keringat membasahi tubuh Dani, nafasnya sesak, ia menoleh ke kiri, dilihatnya seorang bapak dengan entengnya telah menyelesaikan hajatnya, ia menoleh ke kanan dilihatnya seorang bapak yang tersenyum kepadanya sambil melipat surat suara di.tangannya. Dani mengusap keringat di dahinya, kembali ia melihat sekeliling berharap ada petunjuk dari Tuhan yang bisa membantunya melewati hirupan partikel pemilu pertamanya. Matanya tertaut pada satu spanduk, tulisannya sederhana saja, namun bisa jadi itu adalah jawaban atas kebimbangannya.

PILIH DENGAN HATI NURANI!

Kalimat itu menenangkannya, seperti ayat suci yang dibacakan untuk mendinginkan hati-hati yang terbakar, Dani pun mengerti apa yang harus dilakukannya. Dibalasnya tatapan tajam kedua calon di surat suara yang sedari tadi memintanya menjatuhkan pilihannya. Ia pun tersenyum, senyum mantap yang ditunjukannya kepada makhluk fanatis pertama. Tangannya mulai bekerja, menandai surat suara akan pilihannya, mengatakan pada bangsa pada siapa ia menjual dirinya.

Dani menutup surat suaranya, langkah kakinya ringan menuju kotak di mana surat suara itu akan pulang. Setelah memulangkan surat suara itu, Dani menggiring dirinya untuk pulang, hatinya lega ia sudah berhasil melewati ujian di tengah episentrum partikel pemilu. Dani benar-benar bersyukur atas nasehat yang diberikan spanduk itu, kebimbangannya telah teratasi dan ia telah memilih dengan hati nuraninya. Itu tercetak di dalam surat suara pertamanya, satu lubang di masing-masing foto kedua calon telah menunjukkan pada bangsa pada siapa ia menjual dirinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline