Apakah menaikkan iuran BPSJ menjadi 100 persen, akan menjadi solusi dari defisitnya keuangan BPJS? Atau malah akan semakin membuat rakyat tambah tertekan dan menderita?
Sejak pemerintah meresmikan BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek ) yang merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013, khususnya BPJS Kesehatan, hingga kini terus menuai defisit.
Apa yang salah? Apakah penetapan besaran iuran dan golongannya sejak awal? Atau Rakyat Indonesia jadi mudah sakit, lalu memanfaatkan BPJS Kesehatan untuk berobat?
Padahal sebelum berlaku BPJS Kesehatan, banyak klinik dan rumah sakit di Indonesia banyak yang sepi dari pasien. Begitu pemerintah meresmikan BPJS Kesehatan, kini sudah menjadi lazim, kita melihat klinik dan rumah sakit penuh antrian pasien yang akan berobat.
Sebab, adanya BPJS Kesehatan sangat memudahkan akses rakyat berobat dan biayanya tergaransi oleh BPJS, karena rakyat iuran.
Namun, secara sederhana, bagaimana keuangan BPJS tidak akan defisit, bila dengan iuran yang berlaku, rakyat dapat berobat dengan biaya berkali lipat dari iuran yang dikeluarkan.
Belum lagi, adanya kecurangan-kecurangan pihak rumah sakit yang membuat klaim lebih besar dari faktanya.
Ujungnya, BPJS tidak akan pernah menyimpan uang iuran rakyat seperti layaknya asuransi kesehatan pada umumnya, karena fungsi dan kegunaan BPJS yang berbeda.
Sejatinya, iuran BPJS seberapapun besarannya, maka defisit keuangan akan terus terjadi, karena semua pengguna dan pemegang Kartu BPJS akan selalu memanfaatkan BPJS Kesehatan karena sudah iuran.
Jangankan sakit berat, sekarang sakit ringan saja berobat dan memanfaatkan BPJS. Siapa yang akhirnya makmur? Mungkin klinik dan rumah sakit.
Siapa yang akan terus teriak, ya BPJS Kesehatan. Siapa yang selalu memaanfaatkan, ya rakyat karena telah iuran.